Di tengah pro kontra Kereta Rel
Listrik (KRL) Ekonomi dipertahankan atau tidak, manajemen PT KAI setidaknya
perlu memahami budaya pelayanan penumpang di Indonesia. Artinya, kondisi
penumpang sangat tergantung pada kemampuan daya beli, kebiasaan konsumen (consumer
behavior) dan perilaku penumpang naik kereta api.
Kalau PT KAI merasa terkendala
dengan keberadaan penumpang kelas ekonomi, seharusnya bukan mengambil kebijakan
jalan pintas menghapuskan KRL Ekonomi. Bukankah penumpang kereta golongan
ekonomi lemah juga perlu diperhatikan? Apakah orang miskin dilarang naik
kereta?
Bagaimanapun, langkah awal suatu
perubahan budaya tidak bisa dilakukan dalam jangka pendek. Pasalnya, budaya
penumpang KRL ekonomi yang telah terbentuk sejak puluhan tahun lalu sulit
diubah dalam sekejap. Mereka adalah para pedagang yang setiap hari membawa
bakulan, buruh bangunan, kuli panggul, cleaning service, pedagang asongan, dan
pegawai toko, dengan penghasilan rata-rata masih di bawah UMP DKI Jakarta Rp
2,2 juta.
Dari sisi penghasilan, jelas mereka
akan menghadapi beban ekonomi yang sangat berat jika dipaksa berpindah ke KRL
Commuter Line yang tarifnya lebih mahal. Pasti mereka akan semakin
terpuruk, apalagi bagi yang menanggung keluarga, yang umumnya bermukim di rumah
petakan di Bekasi, Depok, Sudimara, maupun Tangerang.
Dari kacamata manajemen PT KAI
terlihat adanya kecenderungan penguatan pendekatan keamanan untuk mengatasi
masalah penumpang KRL Ekonomi, seperti lewat sterilisasi peron dan penertiban
penumpang di atas kereta. Apalagi, sekarang banyak anggota TNI/Polri yang
diperbantukan di sejumlah stasiun di Jabodetabek. Artinya, PT KAI kurang
menekankan pendekatan pasar, seperti peningkatan pelayanan kepuasan konsumen,
maupun kenyamanan mereka di dalam gerbong. Bahkan, PT KAI kini melarang semua
KRL berhenti di Stasiun Gambir, tanpa alasan yang jelas, walau banyak penumpang
merasa dirugikan akibat tidak berhenti di Gambir.
Tidak hanya itu. Muncul ide
kontroversial yaitu sistem penjualan tiket parsial KRL. Sistem seperti ini
dipastikan akan lebih merepotkan bagi penumpang, karena bila kekurangan bayar
tiket, maka penumpang terpaksa harus mampir di tiket hanya sekedar untuk
membayar kekurangannya. Padahal, tidak setiap penumpang sudah terbiasa dengan E-Ticketing
khususnya bagi penumpang KRL Ekonomi. Bagaimanapun, sistem tarif tunggal baik
untuk penumpang KRL CL maupun KRL Ekonomi selama ini tidak menimbulkan masalah,
mengapa harus diubah menjadi sistem tarif parsial?
Bahkan kalangan penumpang KRL
Ekonomi merasa tidak keberatan jika harga karcis sekarang Rp 1.500 - Rp 2.000
dinaikkan menjadi Rp 2.500 - Rp 3.000, asalkan KRL Ekonomi tetap ada seperti
biasa. Mereka mengharapkan penjualan tiket seperti biasa (konvensional) saat
ini dipertahankan.
Buktinya, selama uji coba sistem
tiket elektronik (E-Ticketing) baru-baru ini, ternyata banyak penumpang
dari golongan kelas ekonomi bawah merasa canggung. Ini membuat waktu bertambah
lama di pintu masuk (peron) stasiun. Repotnya lagi, jika kartu E-Ticketing
hilang selama dalam perjalanan, tentu akan menambah permasalahan di waktu
mendatang yang akhirnya kenyamanan penumpang lain ikut terganggu.
Penambahan rute perjalanan KRL CL
yang berlangsung sejak 1 April 2013 tampaknya belum dipikirkan secara matang
oleh Direksi PT KAI. Karena baru seminggu berjalan, ternyata perjalanan KRL CL
dari Stasiun Bekasi pukul 04.40 akhirnya dibatalkan pada 8 April 2013, entah
apa sebabnya. Kalau saja Direksi PT KAI lebih arif dan bijak mau menghidupkan
kembali KRL Bekasi Ekspres dan KRL Pakuan Ekspres, penambahan jadual perjalanan
baru dapat disisipkan fasilitas kereta ekspres yang sudah pasti menambah
penghasilan PT KAI. Karena, harga tiket lebih mahal dan waktu perjalanan lebih
cepat serta berhenti di beberapa stasiun tertentu.
Konsep perbaikan pelayanan PT KAI
saat ini lebih menitikberatkan pada "pembersihan" atau sterilisasi
peron dengan memperluas lahan perparkiran. Padahal, pelayanan yang diharapkan
konsumen adalah, kenyamanan selama perjalanan. Penumpang di stasiun transit
Manggarai atau Jatinegara, selama ini selalu dibuat repot karena saat melintas
berpindah ke KRL di peron lain, mengandung risiko bahaya melintasi rel yang
setiap saat dilalui kereta.
PT KAI seharusnya memprioritaskan
terlebih dulu perbaikan sarana peron di stasiun transit, agar saat penumpang
berpindah dari KRL yang satu ke lainnya tidak melintasi rel. Jangan seperti
sekarang, penumpang selalu berlarian saat akan berpindah KRL di jalur lain. Ini
sangat berbahaya terutama bagi ibu-ibu yang membawa anak, maupun ibu hamil
serta orang tua.
Adalah usul Kemenhub bahwa layanan
kereta api khusus ekonomi ada di bawah satu perusahaan umum (Perum) yang
berdiri sendiri dan terpisah dari PT KAI. Usulan Direktorat Perkeretaapian
Kemenhub, bahwa perlu ada operator khusus yang mengurus sarana KRL Ekonomi
patut kita dukung sepenuhnya. Pasalnya, manajemen PT KAI sekarang cenderung
mengurus kereta api yang bernuansa bisnis.
Padahal, menurut teori pemasaran,
dalam pelayanan khusus transportasi publik ada dua kelas konsumen, yakni
konsumen yang sensitif terhadap perubahan harga dan konsumen yang tidak sesitif
atas harga. Artinya, bagi penumpang yang sensitif harga, mereka akan
mengeluhkan bila terjadi perubahan harga tiket kereta. Tapi, sebaliknya untuk
penumpang yang tidak sensitif, harga tiket berapa pun mereka akan siap membayar
asalkan aspek pelayanan seperti kecepatan, kenyamanan, aman, dan tepat waktu
sampai di tujuan diperhatikan.
Jadi, PT KAI tidak bisa seenaknya
menghapuskan keberadaan KRL Ekonomi yang sejauh ini sangat diminati oleh
kalangan masyarakat golongan ekonomi lemah. Selain faktor budaya masyarakat
miskin, kondisi daya beli yang terbatas dan cukup memprihatinkan, perlu
dijadikan bahan pertimbangan tersendiri.
Firdaus
Alumnus
FISIP-UI
Sumber: Suara
Karya, 16 Mei 2013
(Kliping Opini)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar