Sebanyak 50 warga negara
Indonesia bergabung dengan ribuan gerilyawan asing di Suriah untuk membantu
kelompok ekstremis mendirikan negara Islam. Mereka datang ke Suriah sejak 2012
dengan menumpang maskapai penerbangan komersial menuju Turki. Mereka meyakini perang
jihad sebagai perang paling sakral itu akan berlangsung saat konflik di Suriah
memasuki tahun ketiga pada Maret nanti.
Adanya sejumlah masyarakat yang ingin
menjadi “mujahidin” di Suriah menandakan bahwa sebagian orang masih mengartikan
jihad sebagai perang (qital). Padahal makna jihad bukan tunggal, hanya
perang tapi memiliki makna luas. Tindakan atau perbuatan seperti memberantas
korupsi, mengentaskan kemiskinan, mencerdaskan kehidupan bangsa, mendirikan
rumah sakit dan menjaga NKRI merupakan sebuah jihad. Aksi jihad tersebut merupakan
jihad sosial. Dalam konteks saat ini jihad yang dibutuhkan adalah jihad sosial,
bukan jihad perang angkat senjata.
Islam memang mengajarkan tentang
jihad tapi bukan dengan penumpahan darah. Peperangan terkadang tidak membawa
faedah apa-apa. Yang dibutuhkan adalah kecerdikan, organisasi, pengajaran,
perlengkapan, semangat dan simpati bangsa-bangsa lain. Tanpa unsur-unsur itu
angkatan-angkatan perang yang besar sekali pun tidak akan berfaedah.
Adanya keterlibatan sejumlah WNI
dalam perang Suriah, dalam pandangan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai, dikhawatirkan mereka berpotensi membawa radikalisme
ke negeri ini dan kawasan lainnya.
"Kami belajar dari
pengalaman di masa lalu. Oleh karena itu, setiap WNI yang ikut berperang di
Suriah, usai kembali dari negara itu, perlu untuk diawasi. Kami perlu
mengantisipasi fakta tersebut. Dalam hal ini, saat mereka kembali dari Suriah,
mereka kembali dengan sejumlah hal termasuk keahlian baru terkait perang dan
senjata," kata Mbai seperti dilansir Pikiran Rakyat, Sabtu (11/1/2014).
Keterlibatan mereka juga menandakan
ancaman baru bagi para pemerintah Asia Tenggara, yang telah berhasil mengekang
militan beberapa tahun terakhir, terutama mencegah mereka untuk membentuk
jaringan dengan luar negeri.
Konflik Suriah juga membantu
membakar kampanye kebencian yang meningkat melawan kelompok Syiah di Indonesia
yang mayoritas mengikuti madzhab Sunni. Veteran-veteran Suriah sepertinya akan
memperburuknya.
Sementara itu, Noor Huda Ismail, Direktur
Institute for International Peace Building mengungkapkan, keenam orang
tersangka teroris dan terbunuh pada Desember 2013, juga berencana terbang ke
Turki dan telah mengantongi tiket pesawat.
Menurut dia perang saudara Suriah
dinilai kaum Muslim sebagai perang antara kaum Sunni melawan Syiah, pendukung
Presiden Assad. ‘’Hal ini memicu kekhawatiran kelompok Suni dan Syiah di
Indonesia,’’ tutur Noor Huda.
Sumber: Pikiran Rakyat,
Inilah.com, the global journal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar