Oleh : Rahmat Kurnia Lubis*
Menarik membaca buku
yang di tulis oleh Noor Huda Ismail dalam sebuah tulisan novel dengan judul
tulisan Temanku Teroris, sekitar 386
halaman ketebalan buku tersebut selalu menantang untuk di baca karena di sana tersusun bahasa yang
sangat ringan, mudah di pahami dan
mengundang pembaca untuk mengetahui jejak demi jejak dan hingga mengakhiri tulisan
tersebut. Pembacaan terhadap fenomena yang terjadi di sampaikan sebagai bahasa
nasehat untuk memikirkan sesuatu hal dalam memaknai kehidupan yang lebih layak.
Jika kita berkelana menelusuri pikiran penulis maka akan di dapatkan bagaimana
indah nya kehidupan pesantren, kemudian tentang bagaimana seseorang berjibaku
dalam dunia perang di Afghanistan, Filiphina, dan Poso, seterusnya kesalahan
yang di lakukan atas nama jihad adalah untuk memerangi orang yang tidak se akidah,
dan celakanya lagi adalah telah merusak lingkungan, mencederai anak-anak,
menelan korban tua maupun muda perempuan. Perlu di di berikan garis yang tegas
kembali bahwa jihad adalah untuk mempertahankan diri, negara, maupun agama. Dalam
kondisi aman maka ayat perang secara fisik tidak berlaku disini, sederetan peristiwa
maupun langkah jihad harus di wilayah perang, bukan di tempat umum. Kemudian harus
ada instruksi dari ulil amri bukan hanya keinginan kelompok tertentu atau
individu saja.
Kembali kepada tulisan
Noor Huda Ismail bahwa sebagai seorang journalis ia telah melihat berbagai
macam kenyataan baik secara ekonomis, psikologis, dan dampak bagi dunia
pendidikan atau hubungan baik terhadap teman apalagi pihak asing yang tidak
mengetahui secara pasti kenapa dan bagaimana bisa terjadi, hal ini tentunya bisa
melumpuhkan hubungan bilateral antara dua negara dan bisa menumbuhkan prasangka
terhadap negara maupun agama. Sengaja mengambil ulasan dari apa yang di
paparkan Noor Huda Ismail adalah karena baginya persahabatan adalah suatu hal
yang tidak pernah mati walaupun ia sudah tercederai dengan prilaku dan pikiran
radikal para temannya sesama alumni dan seangkatan di sebuah institusi
pendidikan Islam itu. ia tetap datang menjenguk sahabatnya ketika di tahan
dalam sebuah tahanan karena di dakwa dengan tuduhan teroris, ia tetap
bersilaturrahim dan kerap merindukan sosok-sosok yang bijaksana, dan saling
peduli di lembaga pesantren itu.Ia juga tidak hanya
mengetahui tentang kondisi pelaku terorisme tapi mengunjungi korban dan
keluarga pelaku teror, dan disini jugalah kemudian ia mengetahui sentimen asing
terhadap gejolak yang terjadi seolah mengundang tanya jika seseorang dari
pesantren, hal ini terjawab atas penelusurannya bahwa semua kita di rugikan
dengan tindakan teror.
Tulisan ini juga
tentunya menanggapi ulasan pemikiran dari sebagian individu atau kelompok
tertentu dalam sebuah media yang seolah berat sebelah memposisikan diri sebagai
seorang yang berduka dan mengasihani keluarga pelaku terorisme seperti anak dan isteri nya di tinggal mati atau di
tinggal karena hukum yang menahan nya di balik jeruji besi. Di satu sisi kita
tetap akan kasihan kepada keluarga korban pelaku terorisme karena bisa jadi
bahwa isteri dan anak juga tentu nya tidak mengetahui, bahkan bisa jadi tidak
mendapatkan rekam jejak suami atau keluarga yang terlibat dalam pelaku
terorisme di tanah air. Hal ini tentu nya saya yakini tidak hanya satu atau dua
keluarga saja, kemungkinan besar banyak keluarga yang tidak mengetahuai apa
yang terjadi dan kenapa bisa mengalami hal radikalisme itu. jika tulisan dalam
salah satu media mengatakan bahwa kita harus menyantuni keluarga para pelaku
terorisme yang mereka bahasakan dengan istilah mujahidin hal ini sebenarnya ada
benarnya atau tidak ada yang salah karena pastinya jika seorang teroris atau
yang melakukan aksi teror ini mati terbunuh tentunya anak atau isterinya akan
jadi yatim dan janda. Apalagi jika ada seorang anak yang tanpa kasih sayang
ayah harus mengalami tekanan psikologi dari lingkungan sekitar yang
mengucilkannya, bagaimana pun anak atau isteri tetap manusia yang harus di bela
jika mereka berada dalam posisi yang benar atau tertindas, tidak di benarkan
dalam agama dan negara melakukan diskriminasi terhadap warga negara nya.
Tapi yang jadi masalah
kemudian adalah jika yang di lihat hanya dari satu sisi saja, misalnya seolah
para keluarga pelaku bom bunuh diri, atau yang mengeksekusi bom dengan
meletakkan nya di area publik ini harus di tempatkan dalam posisi yang sangat agung
dan mulia dengan menafikan korban yang jauh lebih banyak akibat ledakan ini,
para korban banyak yang yatim, kehilangan anak dan cedera seperti fisik dan
mental, perekonomian bisa menjadi lumpuh, hubungan baik bisa menjadi keruh,
kepercayaan bisa menjadi hilang dan ideologi keberIslaman bisa di salah
artikan. Penting kita pergunakan akal sehat dan jiwa yang arif bahwa setiap
tindakan teror dan pelaku kerusakan tidak di benarkan, karena dampaknya sangat
luas untuk mengoyak arti sebuah perdamaian dan kenyamanan.
Pelaku teror juga sebagaimana
hal nya manusia yang lain bahwa harus di berikan kesadaran secara berlahan sehingga
mengerti arah dan tujuan jihad sesungguhnya, antusiasme keberagamaan anak muda
harus di arahkan kepada perjuangan positif, karena masih banyak wahana jihad
dan dakwah yang harus di perbaiki, karena antara jihad dan dakwah harus
menyatu, jihad untuk memperjuangkan kebaikan buat seluruh manusia, sementara
dakwah adalah menjaga dan memasukkannya dalam setiap aspek kehidupan manusia agar
jauh dari pada sifat rakus seperti korupsi, hedonisme dan kesewenang-wenangan
baik pejabat negara maupun pimpinan ormas dan lainnya. Tidak ada darah yang di
tumpah kan ketika terjadi Fathu Makkah
(pembebasan kota Makkah), tidak ada pemaksaan dalam agama dan menyodorkan
aturan yang bersyariat Islam ketika di Madinah, tapi dijalankan beriringan
sesuai dengan nilai keberIslaman dan di sepakati oleh kabilah dan suku dari
berbagai macam golongan.
Kehidupan santri di
tanah air adalah kehidupan yang damai, mencintai dan semangat untuk membangun
dan berjuang dalam mengisi kemerdekaan. Tidak sedikit para wali, ulama, dan
santri yang terlibat untuk memperjuangkan tanah air ini, mereka rela bahwa
dasar agama bukan harus Islam, tapi keyakinan beribadah, dan agama jangan
sampai di nistakan satu sama lain. Produk awal pendidikan di tanah air adalah
dari pondok-pondok pesantren yang dengan kesederhanaan nya mempunyai cita-cita
besar. Semangat yang tinggi, optimisme hidup, dan sikap sederhana ini menjadi
icon politik dan kenegarawanan bangsa yang sesungguhnya. Sekali lagi bahwa korban tentu nya bukanlah
pelaku teror walau di satu sisi mereka wajib di santuni, tapi lihatlah betapa
banyak yang di rugikan dari rangkaian peristiwa yang ada. Jangan sampai kita
ter propokasi akibat media yang sesungguhnya memberikan advokasi kepada pelaku
teror dengan mengatas namakan jihad tapi jalan yang di tempuh dengan cara yang
salah terlebih lagi telah menafikan keadaan yang jauh lebih parah atau lebih
banyak.Bisa jadi yang membuat kekhawatiran terhadap
Islam itu adalah datang dari pemeluk nya dan tentunya sebagai terapi nya juga
hadir dari pemeluknya sendiri.Islam Rahmatan lil alamin,
Islam buat kita semua. Itulah kehidupan damai yang di rindukan.
*Penulis adalah alumni Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar