Oleh: Rahmat Kurnia
Lubis*
Seiring dengan
kedewasaan berpikir bahwa lisan dan logika merupakan timbangan untuk kematangan
seseorang. Maka tidak heran bahwa
sesungguhnya peribahasa sering diungkapkan bagi setiap pemilik lidah untuk
menjaga apa yang keluar dari lisannya. Sebab ketajaman lisan bisa lebih pedih
daripada pedang. Ketajaman lisan mampu membuat damai, pun sebaliknya bisa membuat
konflik. Dari bahasa yang keluar ini juga lah kemudian dapat di ukur tentang
kewibawaan dan bisa tidaknya seseorang menjaga harga diri. Setiap sesuatu ada
pintu sebagai pembuka untuk mengetahui seluk beluk dan isi yang akan dimasuki,
maka pintu awal untuk mengetahui karakter seseorang adalah dari apa yang
diucapkannya.
Harus disadari, bahwa
komunikasi yang baik itu tidak hanya cukup berkata benar, tapi ia merupakan
tiga serangkai yang harus seiring sekata. Pertama, pembicaraan atau lisan yang
baik yaitu berbicara dengan tutur kata yang sopan, santun dan tidak
menyakitkan. Kita pernah mendengar seorang ustadz, dai, motivator, guru dan ibu
yang berbicara dengan penuh kelembutan, berusaha menyampaikan bahasa dari hati.
Begitu pun jika ada orang yang datang dengan amuk massa, menyampaikan sumpah
serapah, bahas kotor. Dalam keadaan apapun hendaknya berucap dengan bahasa yang
santun, terkontrol dan damai, maka dalam hal ini tidak akan ada alasan buat
orang lain untuk kembali mengajak anda untuk berbicara lebih keras. Secara
otomatis orang yang diajak berdialog akan menurunkan suaranya. Kejadian yang
sering terjadi adalah ketika dalam kondisi amarah yang tinggi kemudian kita
terbawa oleh suasana sehingga suara yang kita keluarkan tidak kalah lebih
tinggi, akhirnya dalam situasi seperti ini kekerasan menjadi senjata dalam
mengukuhkan pendirian tersebut. Pernahkah kita menyadari seiring masuknya suara
dan pembahasaan yang tidak baik ini dalam diri manusia sering membuat orang
salah sangka, merupakan langkah setan untuk mengobarkan dendam. Amarah ini lah
kemudian yang menjadi gerbang untuk berbuat kejahatan dan kemaksiatan lainnya, dengan
amarah manusia bisa saling fitnah, membunuh, dan perang. Maka bertuturlah dengan bahasa yang baik.
Kedua, berkata dengan
ungkapan yang bijak, tutur kata yang diasah dengan kemampuan yang membuat orang
tenang, senang, dan damai justru menjadikan pribadi ini menjadi orang yang
selalu ditunggu suaranya, karena dari dalam dirinya mampu memberikan motivasi,
semangat bagi jiwa yang rapuh, bisa menempatkan setiap kata untuk tetap
bermakna. Bagi penjual yang hebat atau direktur handal, penyampaian bahasa yang
bijak akan menjadikan perusahaan maupun barang yang ditawarkannya akan laris di
pasaran. Mungkin bisa jadi awal pertemuan dengan seorang direktur, marketing,
ustadz dan motivator hanya sebatas pertemuan dan bahkan tidak menarik minat
terhadap apa yang disampaikan, tapi kemampuan bahasa, kebijaksanaan kata yang
diucapkan mampu membuat orang mengikuti apa saja yang diinginkan si pemilik
bahasa.
Suatu ketika Nabi Musa
meminta kepada Allah SWT untuk menghadapi Fir’aun untuk dibimbing dan dikuatkan,
dalam permintaan tersebut Nabi Musa berdoa,“Robbisrohli
sodri wayassirli amri wahlul ‘uqdatammillisaani yafkahul kauli”. Ya Allah
lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, lancarkanlah lisanku dan hilangkan kekakuan
dalam lidahku. Buatlah mereka mengerti akan ucapanku.
Ketiga, ungkapan bahasa
yang baik dalam akhlak Islam adalah berkata benar. Banyak orang yang
berbicara mewakili berbagai macam
profesi, namun jika ungkapan kata selalu bohong, tidak terbukti tentang apapun
yang diucapkannya maka sebaik apapun yang dilakukannya, orang akan enggan dan
menjauh. Perkataan yang mengandung unsur baik, jika dalam penyampaiannya tidak
bijak, apalagi tidak ada nilai kebenaran di dalamnya menjadi sesuatu hal yang
tidak berarti. Dengan tiga serangkai bahasa ini, maka ia tidak hanya sebagai
ibadah, tapi ia mampu menciptakan perubahan, mengambil keputusan, dan menilai
permasalahan dengan cara yang dapat diterima oleh semua lapisan. Allah SWT
telah menyampaikan cara berbuat untuk sesuatu hal dengan sebaik mungkin, yaitu
dengan mencakup tiga fondasi utama, tersebut di atas. Dalam Surat An Nahl ayat
125.
“Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Kata
al hikmah menurut kitab Al Qamus Al Muhith, bermakna adil, lembut, dan
bagusnya pemikiran. Adapun dari pengertian syara bahwa al hikmah
memiliki banyak makna, di antaranya adalah ketepatan ucapan dan perbuatan,
sebagaimana ditulis dalam Tafsir Ath Thabari dan Tafsir Ar Razy. Dalam kitab Al
Bahrul Muhith, hikmah dimaknai sebagai meletakkan segala sesuatu pada
proporsinya.
Al Mauizhah al hasanah
adalah pelajaran dan peringatan yang baik. Al Khalil berkata, al mauizhah
adalah memberi peringatan dengan kebajikan yang membuat hati senang. Al
Hikmah dan mauizhah hasanah disebut dalam kitab Adab Al Bahts
wal Munazharah sebagai al burhan (bukti, dalil) dan al
khithab (pidato). Allah SWT menghubungkan kata al mauizhah dan al
hasanah, Dalam ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan harus dijalankan
dengan ungkapan kata yang tidak saja benar, tapi harus adil, bijak, dan baik
sehingga setiap orang dalam persengketaan atau permasalahan apapun bisa dibicarakan
bersama.
Setiap orang cenderung
untuk menghakimi dan menilai apa yang dilihatnya. Jika dalam hal penyampaian
tidak mengontrol dan membiasakan dengan ungkapan yang baik, bijak dan benar tentunya
akan menjadi masalah bahkan bisa menjadi sumber konflik, walau sebenarnya kita
ingin berbuat baik tapi kalau tidak dilakukan dengan cara, pembahasaan,
kebijaksanaan tutur kata akan membuat semakin rusuh suasana.
*Rahmat Kurnia Lubis,
Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar