Jumat, 14 Februari 2014

Berkata Baik, Bijak dan Benar adalah Akhlak Islam




Oleh: Rahmat Kurnia Lubis*

Seiring dengan kedewasaan berpikir bahwa lisan dan logika merupakan timbangan untuk kematangan seseorang.  Maka tidak heran bahwa sesungguhnya peribahasa sering diungkapkan bagi setiap pemilik lidah untuk menjaga apa yang keluar dari lisannya. Sebab ketajaman lisan bisa lebih pedih daripada pedang. Ketajaman lisan mampu membuat damai, pun sebaliknya bisa membuat konflik. Dari bahasa yang keluar ini juga lah kemudian dapat di ukur tentang kewibawaan dan bisa tidaknya seseorang menjaga harga diri. Setiap sesuatu ada pintu sebagai pembuka untuk mengetahui seluk beluk dan isi yang akan dimasuki, maka pintu awal untuk mengetahui karakter seseorang adalah dari apa yang diucapkannya. 

Harus disadari, bahwa komunikasi yang baik itu tidak hanya cukup berkata benar, tapi ia merupakan tiga serangkai yang harus seiring sekata. Pertama, pembicaraan atau lisan yang baik yaitu berbicara dengan tutur kata yang sopan, santun dan tidak menyakitkan. Kita pernah mendengar seorang ustadz, dai, motivator, guru dan ibu yang berbicara dengan penuh kelembutan, berusaha menyampaikan bahasa dari hati. Begitu pun jika ada orang yang datang dengan amuk massa, menyampaikan sumpah serapah, bahas kotor. Dalam keadaan apapun hendaknya berucap dengan bahasa yang santun, terkontrol dan damai, maka dalam hal ini tidak akan ada alasan buat orang lain untuk kembali mengajak anda untuk berbicara lebih keras. Secara otomatis orang yang diajak berdialog akan menurunkan suaranya. Kejadian yang sering terjadi adalah ketika dalam kondisi amarah yang tinggi kemudian kita terbawa oleh suasana sehingga suara yang kita keluarkan tidak kalah lebih tinggi, akhirnya dalam situasi seperti ini kekerasan menjadi senjata dalam mengukuhkan pendirian tersebut. Pernahkah kita menyadari seiring masuknya suara dan pembahasaan yang tidak baik ini dalam diri manusia sering membuat orang salah sangka, merupakan langkah setan untuk mengobarkan dendam. Amarah ini lah kemudian yang menjadi gerbang untuk berbuat kejahatan dan kemaksiatan lainnya, dengan amarah manusia bisa saling fitnah, membunuh, dan perang.  Maka bertuturlah dengan bahasa yang baik.

Kedua, berkata dengan ungkapan yang bijak, tutur kata yang diasah dengan kemampuan yang membuat orang tenang, senang, dan damai justru menjadikan pribadi ini menjadi orang yang selalu ditunggu suaranya, karena dari dalam dirinya mampu memberikan motivasi, semangat bagi jiwa yang rapuh, bisa menempatkan setiap kata untuk tetap bermakna. Bagi penjual yang hebat atau direktur handal, penyampaian bahasa yang bijak akan menjadikan perusahaan maupun barang yang ditawarkannya akan laris di pasaran. Mungkin bisa jadi awal pertemuan dengan seorang direktur, marketing, ustadz dan motivator hanya sebatas pertemuan dan bahkan tidak menarik minat terhadap apa yang disampaikan, tapi kemampuan bahasa, kebijaksanaan kata yang diucapkan mampu membuat orang mengikuti apa saja yang diinginkan si pemilik bahasa. 

Suatu ketika Nabi Musa meminta kepada Allah SWT untuk menghadapi Fir’aun untuk dibimbing dan dikuatkan, dalam permintaan tersebut Nabi Musa berdoa,“Robbisrohli sodri wayassirli amri wahlul ‘uqdatammillisaani yafkahul kauli”. Ya Allah lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, lancarkanlah lisanku dan hilangkan kekakuan dalam lidahku. Buatlah mereka mengerti akan ucapanku.

Ketiga, ungkapan bahasa yang baik dalam akhlak Islam adalah berkata benar. Banyak orang yang berbicara  mewakili berbagai macam profesi, namun jika ungkapan kata selalu bohong, tidak terbukti tentang apapun yang diucapkannya maka sebaik apapun yang dilakukannya, orang akan enggan dan menjauh. Perkataan yang mengandung unsur baik, jika dalam penyampaiannya tidak bijak, apalagi tidak ada nilai kebenaran di dalamnya menjadi sesuatu hal yang tidak berarti. Dengan tiga serangkai bahasa ini, maka ia tidak hanya sebagai ibadah, tapi ia mampu menciptakan perubahan, mengambil keputusan, dan menilai permasalahan dengan cara yang dapat diterima oleh semua lapisan. Allah SWT telah menyampaikan cara berbuat untuk sesuatu hal dengan sebaik mungkin, yaitu dengan mencakup tiga fondasi utama, tersebut di atas. Dalam Surat An Nahl ayat 125.


“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
 



Kata al hikmah menurut kitab Al Qamus Al Muhith, bermakna adil, lembut, dan bagusnya pemikiran. Adapun dari pengertian syara bahwa al hikmah memiliki banyak makna, di antaranya adalah ketepatan ucapan dan perbuatan, sebagaimana ditulis dalam Tafsir Ath Thabari dan Tafsir Ar Razy. Dalam kitab Al Bahrul Muhith, hikmah dimaknai sebagai meletakkan segala sesuatu pada proporsinya. 

Al Mauizhah al hasanah adalah pelajaran dan peringatan yang baik. Al Khalil berkata, al mauizhah adalah memberi peringatan dengan kebajikan yang membuat hati senang. Al Hikmah dan mauizhah hasanah disebut dalam kitab Adab Al Bahts wal Munazharah sebagai al burhan (bukti, dalil) dan al khithab (pidato). Allah SWT menghubungkan kata al mauizhah dan al hasanah, Dalam ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan harus dijalankan dengan ungkapan kata yang tidak saja benar, tapi harus adil, bijak, dan baik sehingga setiap orang dalam persengketaan atau permasalahan apapun bisa dibicarakan bersama.

Setiap orang cenderung untuk menghakimi dan menilai apa yang dilihatnya. Jika dalam hal penyampaian tidak mengontrol dan membiasakan dengan ungkapan yang baik, bijak dan benar tentunya akan menjadi masalah bahkan bisa menjadi sumber konflik, walau sebenarnya kita ingin berbuat baik tapi kalau tidak dilakukan dengan cara, pembahasaan, kebijaksanaan tutur kata akan membuat semakin rusuh suasana.

*Rahmat Kurnia Lubis, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar