Oleh : Rahmat Kurnia Lubis*
Memang manis manis gula gula. Begitu juga negeri kita tercinta. Banyak suku
suku dan budaya. Ada Jawa Sumatera sampai Papua. Semuanya ada di sini. Hidup rukun damai berseri
seri. Ragam umat umat agamanya. Ada Islam ada Kristen Hindu Buddha. Semuanya
ada di sini. Bersatu di Bhinneka Tunggal Ika. Indonesia negara kita tercinta. Kita
semua wajib menjaganya. Jangan sampai kita terpecah bela. Oleh pihak lainnya. Pancasila
dasar negara kita. Dengan UUD empat limanya. Jangan sampai kita diadu domba. Oleh
bangsa lainnya.
Kutipan
tersebut di atas merupakan lirik lagu seorang Pujiono. Walau harus
tereliminasi, namun ia telah menjadi pemenang sebelum juara. Mari kita rehat
dan hilangkan kekakuan. Tidak perlulah kita mengaum bak Singa agar di anggap
hebat, juga tidak perlu harus jadi orang besar agar bisa menuangkan ide dan
kreatifitas. Mulailah dan berikanlah hal yang memberi makna. Pujiono yang Asal
Cilacap ini hanya Pengamen Jalanan mampu menyihir kekakuan, dan sekat di antara
kita. Memberi dengan hati akan menempel di hati, berikanlah dengan kata dan hal
sederhana yang mampu memberi inspirasi dan manfaat buat orang lain. Nasionalisme
terbangun. Kekakuan jadi mencair, ketengan dan perseteruan menjadi damai dengan
kesejukan. Dalam hidup ini tidak ada yang abadi, maka lakukanlah dan sepanjang
sejarah masih terus bergulir jangan hanya menebar isu, menyampaikan bahasa
kekerasan, fitnah atau gunjingan terhadap orang lain, tapi apa yang bisa di
lakukan segeralah. Mulailah dari hal kecil, dari sebuah diri, memberikan arti
dan positif bagi diri dan orang lain, dari keluarga sederhana, dan tempat
lingkungan kita bekerja. Jangan hanya sebatas kewajiban kita mengambil peran
dalam kehidupan ini, tapi ikhlaskanlah karena itu memang akan lebih berarti
buat Indonesia Raya. Inilah yang di namakan kekhusyukan, karena jika makan
hanya sebatas makan kera di hutan juga makan, dan jika hanya kerja sebatas
kerja maka babi hutan juga bekerja. Inilah pernyataan seorang ulama yang kritis
yaitu Buya Hamka. Allah SWT bahkan dengan tegas memberikan perumpamaan dalam al
Quran :
“Terangkanlah
kepadaKu tentang orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya,
maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya. Atau apakah kamu mengira
bahawa kebanyakan mereka itu mendengar dan memahami, mereka itu tidak lain
hanyalah seperti binatang ternak bahkan mereka lebih sesat jalannya dari
binatang ternak itu.” (Al-Furqan, 25: 43-44)
Saat ini banyak orang yang telah pesimis akan arti
sebuah hidup, ingin cepat melanggeng ke surga, mencoba merevolusi semua hal
yang tidak sesuai dengan pikirannya. Jika kita ingin lebih mengetahui kenapa
kemudian Allah SWT menciptakan segala sesuatu itu dengan tahapan, seperti misalnya
bahwa penciptaan alam semesta melalui enam fase, proses penciptaan makhluk yang
tidak langsung jadi, begitupun dengan manusia tidak di ciptakan satu agama,
satu kitab dan satu budaya. Dia bahkan menyuruh untuk setiap manusia menikah
bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa untuk kita bisa saling mengenal. Secara
filosofis bahwa Allah sang Maha Agung ingin menjadikan manusia ini untuk dapat berfastabiqul khairat untuk
kebaikan, peradaban, dan sebagai bentuk pengamanahan khalifatullah di muka bumi.
Hidup ini adalah rangkaian yang tidak sekali jadi sebagaimana Allah SWT
memberikan contoh dalam penciptaan yaitu proses, ini bukan berarti bahwa Allah SWT
tidak kuasa. Dalam surat yasin disebutkan.
“Innama amruhu
idza arada syaian an yaqula lahu kun fayakun.” (Sesungguhnya
urusannya-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya,
“Jadilah!” Maka jadilah ia,” Qs. Yasin [36]:82).
Manusia itu harus melakukan sesuatu, ketika jatuh, bersabar,
berbuat, dan terciptalah hasil. Allah SWT memberikan gambaran itu agar manusia
tidak gegabah dan tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu tapi harus di pikirkan
dan dilaksanakan secara bertahap. Bisa jadi jika hanya mengangkat pahala sebagai
jalan menuju surga adalah sesuatu hal yang teramat berat untuk kehidupan
manusia, tapi Allah tetap memberikan kesempatan itu bagi setiap hambanya. Allah
SWT menilai dari hati dan apa yang kita kerjakan. Untuk urusan akhirat Dia lah
sang agung yang lebih adil dalam memberikan penilaian terhadap para hambanya,
namun langkah yang salah kemudian adalah jika tujuan kita hanyalah surga,
banyak orang berjihad karena ingin surga, tidak sedikit orang yang bernegara,
memimpikan jadi pemimpin untuk jadi terkenal. Dan berwibawa. Sungguh itu adalah
pemikiran yang salah. Hal terbaik bagi seorang manusia adalah melakukan sesuatu
yang baik dan benar karena landasan Ilahi Rabbi, inilah puncak niatan yang
tertinggi, karena jika kita sudah di ridhai Allah SWT maka tidak ada lagi
kekhawatiran untuk di caci di jatuhkan dan di benci. Jika semua manusia ingin
menjatuhkanmu di atas dunia ini, jika bukan karena kehendak Allah maka tidak akan
pernah goyah dan jatuh walau sesaat pun, demikian juga jika semua manusia di
permukaan bumi menyanjung dan mengangkat anda jadi penguasa namun jika bukan
atas kehendak Allah SWT tidak akan bisa menjadi penguasa. Jadi yang lebih indah
dalam hidup ini adalah keikhlasan karena dalam keikhlasan itu tidak ada
tuntutan lebih, kecuali hanya ingin bekerja, beramal karena Allah untuk manusia
dan untuk sang pencipta.
Rabiatul Adawiyah seorang sufistik yang sangat
mencintai Tuhan-Nya mengatakan bahwa “Jika aku menyembah-Mu karena takut api neraka-Mu maka bakarlah aku di
dalamnya. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu maka haramkanlah
aku daripadanya. Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu maka
berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar
dan Maha Mulia itu”. Allah SWT dalam al Quran menyebutkan : “Perumpamaan orang-orang yang mengambil
pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti labah-labah yang membuat rumah.
Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah labah-labah kalau mereka
mengetahui.” (Al-‘Ankabut, 29: 41)
Antara
agama dan Negara adalah dua proses kehidupan yang harus di jalankan tanpa harus
saling mengorbankan, karena keduanya merupakan unsur terpenting dalam kehidupan.
Jika negara tidak ada maka kita menjadi bangsa yang tanpa wilayah dan tanah,
bahkan negara menjadi tempat yang wajib di bela jika dalam kondisi perang. Mempertahankan
negara merupakan bagian dari pada jihad. Memberikan yang terbaik bagi bangsa
merupakan jihad sosial, dan beribadah kepada Allah SWT dengan menjadikan nya
sebagai Tuhan tempat berlindung dan meminta pertolongan merupakan anugerah dan
hidayah yang luar biasa, mari bernegara tumbuhkan jiwa nasionalis dalam diri
dan jadikan Allah sebagai tujuan hidup yang memberikan kedamaian dan ketenangan
buat semua.
Penulis Adalah Alumni Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar