Belakangan ini bencana alam terjadi
di sejumlah daerah di Indonesia. Bencana banjir menimpa masyarakat ibu kota dan
sekitarnya serta beberapa daerah lainnya. Erupsi Gunung Sinabung melanda warga
Kabupaten Karo, Medan, Sumatera Utara. Gempa bumi menimpa warga Kebumen, Jawa
Tengah. Sementara, banjir bandang dan longsor menerjang masyarakat Manado,
Sulawesi Utara.
Adanya bencana tersebut merupakan
teguran bagi kita agar tidak terus-menerus merusak bumi dan seisinya. Bencana juga
bisa sebagai bentuk ujian ketakwaan dan keimanan masyarakat Indonesia. Di
tengah kondisi bencana seperti saat ini hendaknya semua pihak saling membantu
meringankan penderitaan para korban bencana. Para pihak seyogyanya tidak melakukan
saling menghujat dan menyalahkan, apalagi menganggap sistem pemerintah dan
pemimpinnya tidak benar.
Namun fakta di lapangan, ketika ada
bencana menimpa masyarakat, pemerintah selalu disalahkan. Mereka dihujani
kritikan bertubi-tubi dari berbagai kalangan bahwa bencana alam yang menimpa
masyarakat sebagai akibat kebijakan yang dibuatnya. Bahkan ada pula yang
menganggap bahwa bencana alam yang melanda negeri ini karena negara kita tidak
menerapkan syariat Islam. Negara yang menganut sistem demokrasi dianggap sebagai
rawan bencana, sementara negara yang menganut sistem pemerintahan Islam akan
jauh dari bencana. Antara sistem pemerintahan yang digunakan dalam sebuah
negara dengan potensi kerawanan bencana tidak bisa dikaitkan sepenuhnya.
Sebab, terjadinya bencana di muka
bumi akibat ulah manusia itu sendiri, bukan karena sistem pemerintahan yang
digunakan. Dalam Al Quran dikatakan, bahwa
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali.
Katakanlah,” Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah
orang-orang yang mempersekutukan”. (QS. Ar-Ruum 30: 41-42).
Jadi, sebuah negara apapun sistem
pemerintahannya bila rakyatnya tidak berperilaku merusak lingkungan dan bersahabat
dengan alam maka kecil kemungkinan bencana akan terjadi, pun sebaliknya. Kerawanan
bencana tidak ditentukan oleh sistem pemerintahan yang dianut sebuah negara. Letak
geografis sebuah negara bisa berpengaruh terhadap kerawanan bencana. Indonesia
yang letak geografisnya berada di cincin api (ring of fire) memiliki potensi
bencana yang cukup tinggi. Bila masyarakat kita berperilaku merusak alam maka
potensi tersebut mudah terjadi. Sebaliknya, bila kita bisa merawat dan menjaga
alam dengan baik maka potensi itu dapat diminimalisasi.
Pernyataan Menteri Sekretaris
Kabinet (Seskab) Dipo Alam yang mengingatkan masyarakat agar tetap berpikir
rasional dalam melihat banyaknya bencana layak diikuti. Pasalnya, bencana-bencana
belakangan yang terjadi disebabkan oleh pergerakan lempeng-lempeng tektonik di
cincin api Pasifik. Sekitar 90% gempa bumi terjadi di sepanjang cincin api
Pasifik itu, termasuk di sekitar nusantara kita yang vulkanis. “Negara-negara
lain juga menghadapi bencana alam,” ujar Dipo melalui akun twitter pribadinya
@dipoalam49, Minggu (26/1/2014).
Penanggulangan bencana alam tidak
bisa sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah. Masyarakat dan komponen bangsa
yang lain pun harus turun tangan untuk mengatasi bencana. Kerja sama antara
pemerintah dan masyarakat sipil yang solid akan efektif menanggulangi bencana
di negeri ini. Mari jaga dan lestarikan
lingkungan di sekitar kita agar bisa mengurangi potensi bencana. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar