Oleh : Rahmat Kurnia
Lubis*
Fenomena Keberagamaan kita
saat ini sudah cukup sangat memprihatinkan, sikap ashabiyah (fanatisme buta)
terhadap golongan tertentu membuat diri dan kelompok nya saja yang seolah
pemilik otoritas wahyu, paling akurat dan valid keberagamaan nya karena apa
yang keluar dari pembacaan teks sudah di
anggap sebuah kebenaran mutlak yang tidak dapat di ganggu gugat, padahal sesungguhnya
selain dari pembacaan terhadap teks masih banyak tolok ukur, dan dimensi lain
yang harus di kaji untuk memahami nash maupun hukum-hukum tertentu dalam dunia
Islam. Sederhana nya bahwa Islam itu adalah lahir di Arab, bahasa nya dalam al
Quran maupun hadits menggunakan bahasa Arab, maka sudah sewajarnya bagi orang
yang ingin mengerti tentang Islam maka sebagai fondasi dasarnya adalah bisa
membaca kitab-kitab berbahasa Arab dan tentu nya mengerti tentang bahasa Arab.
Apakah bisa membaca tulisan turats (klasik)
arab dan memahami nya lantas kemudian sudah cukup di jadikan hujjah dalam
menginterpretasikan sebuah hukum atau memfatwakan sebuah ijtihad. Hal ini belum
cukup tentu nya. Ulama hadits dan mufassir juga jika ingin menafsirkan teks
suci harus mendalami sejarah berupa sebab turun nya ayat dan hadits. Artinya mengeluarkan sebuah keputusan apalagi
terkait dengan hukum Islam harus membawa
maslahat dan ketetapan bijak yang mendamaikan. Hukum itu harus melihat kepada konteks budaya, ras dan zaman
yang mengitari nya, karena sesungguhnya Islam itu lahir buat seluruh alam
semesta. Hukum itu tidak boleh di setir oleh kepentingan individu dan satu golongan
saja, karenanya memang hukum dalam Islam itu harus objektif memberikan
pencerahan buat semua lapisan.
Muncul kemudian
pertanyaan adalah siapakah yang berhak mengkafirkan?, Allah SWT maupun dari
hadits-hadits Rasulullah saw membahasakan masalah ini dengan bahasa yang umum
yaitu misalnya orang yang tidak beriman kepada Allah SWT, tidak beriman kepada
hari akhirat, tidak beriman kepada kitab maupun rasul, artinya jika rukun Iman
masih melekat dalam dirinya, rukun Islam masih di jalankan nya maka harus kita
hormati hak nya untuk berpendapat dan tanpa harus berprasangka negatif terhadap
orang lain tersebut. Seharusnya kita dapat berpikir dan bertanya kenapa
kemudian Allah SWT dan Muhammad saw membahasakan orang yang ingkar terhadap
aturan syariah nya di anggap kafir dengan pembahasan yang lembut namun mengandung
unsur ketegasan, bahwa ini sesungguhnya tidak terlepas dari pada bahaya atas
bahasa yang di timbulkan nya, karena di saat seseorang dengan mudah mengatakan
orang lain kafir maka akan memunculkan fenomena penghakiman berikutnya atau
bahkan konflik yang tidak hanya sebatas wacana tapi bisa berujung kepada fisik,
artinya nuansa damai itu tidak akan bisa terwujud. Pembahasan terhadap sesat
itu sebenarnya hanya lah milik prerogatif Allah SWT, dialah yang paling
mengetahui manusia tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, apa yang
nyata dan apa yang tersembunyi.
Orang yang
mudah mengkafirkan kaum muslimin adalah orang yang sedikit wara’ dan agamanya,
dangkal ilmu dan bashirah nya, karena mengkafirkan mempunyai konsekwensi yang besar
dan mengharuskan hukuman dan ancaman yang berat terhadap orang yang di kafirkan
diantaranya adalah wajib nya mendapatkan laknat dan kemurkaan, dibatalkan
seluruh amal nya, tidak diampuni dosa nya, mendapatkan kehinaan dan kebinasaan,
kekal dalam api neraka selama-lamanya, tidak mendapat warisan, haram di shalatkan
jenazah nya, dan hukum-hukum lainnya sebagaimana tertera dalam kitab-kitab
fiqih.
Maka Wajar kemudian baginda Nabi Muhammad saw menyampaikan sebuah pesan dalam
hadits nya “Barangsiapa memanggil atau menyebut
seorang itu kafir atau musuh Allah padahal sebenarnya bukan demikian, maka
ucapannya itu akan kembali kepada orang yang mengatakan [menuduh] itu.” (H.R.
Bukhari) dan sementara hadits nabi kembali di sampaikan yang diriwayatkan Bukhari bahwa “Seorang muslim adalah orang yang tidak merugikan muslim lainnya dengan
lidah maupun dengan kedua tangannya”. Tidak sulit bagi Allah SWT jika ingin
membuat semua manusia ini menjadi muslim dan tidak akan merugikan Allah jika
ternyata semua manusia ini kufur dan masuk dalam nerakanya. Artinya kita di berikan
kebebasan untuk memilih, dan pilihan itu bagi seorang muslim adalah dengan mamasukkan
nilai-nilai Islam kepada hidupnya tanpa mengurangi rasa hormat dan mengorbankan
kehidupan manusia lainnya. Kasih sayang jauh lebih baik dari pada membela agama
tapi akhirnya merusak dan membinasakan. Pembelaan terhadap sesuatu hal yang
baik akan tetap senantiasa salah jika dilakukan dengan cara yang salah, ini
sama halnya mencuri air untuk berwudhu atau mencuri mukena/sajadah untuk
kepentingan shalat. Hal ini tentu tidak di benarkan karena di tempuh dengan
jalan yang tidak baik. Begitulah Islam mengajarkan arti sebuah akhlak.
Akhlak Islam yang baik
itu adalah akhlak yang menjaga, menjaga perasaan, sikap termasuk perbuatan
seperti mulut dan tangan, begitupun dengan pemikiran. Islam mengajarkan
demikian untuk memunculkan kedamaian dan persatuan. Islam tidak memaksakan
kehendak untuk mengislamkan semua makhluk ciptaan Allah SWT ini, hal ini sama
juga bahwa Islam tidak ingin merevolusi segala bentuk budaya, dan undang-undang
yang masih relevan dan bisa memberikan rasa aman, nyaman, dan persatuan. Kehidupan
manusia itu adalah kehidupan yang plural, maka dalam kemajemukan itu segala
aspirasi harus di dengarkan untuk mendapatkan kaedah hukum yang sesuai dengan
ketentuan maqasid syariah itu sendiri
(tujuan syariat). Atas dasar penetapan hukum yang
secara langsung maupun tidak dari Allah SWT dan Nabi saw, maka semuanya mempunyai
hikmah yang mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia, sebagaimana yang
ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur'an, di antaranya dalam surat Al-Anbiya'
:107, tentang tujuan nabi Muhammad diutus. Rahmat untuk seluruh alam dalam ayat
tersebut diartikan dengan kemaslahatan umat. Sedangkan, secara sederhana
maslahat itu dapat diartikan sebagai sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh
akal sehat. Diterima akal mengandung pengertian bahwa akal itu dapat mengetahui
dan memahami motif di balik penetapan suatu hukum, yaitu karena mengandung
kemaslahatan untuk manusia, baik dijelaskan sendiri alasan nya oleh Allah atau
dengan jalan rasionalisasi.
Apakah lantas jika seseorang
sudah nyata tidak menyembah Allah SWT, tidak menjadikan hukum Islam sebagai
sumber hidupnya memang harus kita hakimi sebagai sesuatu hal yang seolah
pendosa besar untuk di rajam atau di bunuh, kehidupan kita adalah kehidupan
yang mempunyai aturan, agama di berikan untuk menjalankan pola ritual penghambaan
dan akhlak kepada manusia. Memberikan nasehat yang baik, yang benar kepada pemimpin
merupakan salah satu jihad yang paling utama dalam kondisi negara damai. Jadi perbuatan
untuk mengkafirkan dan melakukan teror bahkan sampai membunuh dan menebar
kebencian dan adu domba tentunya sesuatu hal yang tidak di benarkan dalam Islam
yang rahmatan lil ‘alamin ini.
Wakil menteri Agama Prof.
Dr. Nasharuddin Umar dalam testimoni launching buku akbar di sponsori oleh PBNU
Laskar Ulama dan Santri, Resolusi Jihad Garda Depan Menegakkan Indonesia
(1945-1949) pada hari Minggu tanggal 02 Pebruari 2014 di Gedung Juang 45 mengatakan
bahwa ulama itu mempunyai keunikan ilmu yang sukar di dapatkan dari akal sehat,
karena proses transferisasi ilmu yang tidak biasa, bahwa inspirasi yang
menyentuh dan melekat dalam hati itu adalah dari tingkat tertinggi wahyu,
kemudian ilham dan pencarian ta’lim atau majelis ilmu biasa. Para ulama-ulama fiqih,
hadits dan lainnya mendapatkan ilmu dengan ilham yang langsung di inspirasikan
oleh Allah SWT kepada hatinya, maka inilah kemudian yang membuat mereka tetap
santun dalam perbedaan dan tidak sedikit pun keluar dari mulut mereka
bahasa-bahasa pengkafiran terhadap manusia lainnya. Karena bagi mereka Islam
itu tidak hanya sebatas wacana dan ritual tapi hal yang paling esensial adalah
bagaimana mengislamkan diri, menciptakan kedamaian di tengah kehidupan serta
bermanfaat buat agama, bangsa dan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar