Beberapa kalangan mengeluhkan pola
operasi kontrateror Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror yang
tertutup. Bahkan terkadang Densus 88 tidak melakukan koordinasi dengan
kepolisian daerah atau resor setempat.
Menanggapi hal tersebut, Direktur
Pembinaan Kemampuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT),
Brigjen Pol Rudy Sufahriadi, menjelaskan, hal tersebut dilakukan
lantaran pergerakan teroris yang licin dan mampu berbaur dengan
masyarakat.
“Teroris sangat rentan, bersembunyi
dengan masyarakat. Karena sifat itulah kita tidak bisa terbuka,” kata
Rudy, Kamis (21/3/2013).
Selain itu, lanjut mantan Kapolres Poso
ini, jaringan kelompok teror sangat luas dan besar. Dia mencontohkan,
sosok DPO terorisme Santoso yang sangat licin saat akan disergap
petugas. Terakhir, pentolan kelompok teror Poso itu terdeteksi di
Kalora, Poso Pesisir, namun saat akan disergap, aparat mendapatkan
perlawanan dari warga sekitar dengan bom dan senjata api.
“Tertutup saja susah apalagi terbuka,
makanya wilayah tidak diberi tahu. Contoh kita mau tangkap (teroris) di
Jawa Tengah, saya beri tahu polisi wilayah, nanti malah ada patroli di
situ,” tuturnya.
Contoh lain adalah ketika personelnya
harus berurusan dengan kepolisian wilayah, di mana personelnya disangka
sebagai pelaku perampokan toko emas. Meski ditahan, anggota Densus
tersebut tidak membuka siapa dirinya. “Kalau dibuka, akan rusak semua
operasi jaringannya,” jelas Rudy.
Begitu pula dengan seorang personel yang
menyamar menjadi tukang baso gerobak saat upaya penangkapan kelompok
teroris Palembang. Dia terpaksa dirawat di rumah sakit karena kena
hunusan pisau orang tidak dikenal.
“Dia enggak pernah mengaku polisi. Meski
dia membawa pistol, dia enggak menembak, dan memilih berobat ke rumah
sakit, daripada operasinya terbuka semua,” cerita Rudy. (sf)
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar