Kamis, 14 Februari 2013

Tjut Rifameutia: Didiklah Generasi Muda Menghargai Perbedaan




Pada 17 Juli 2009, publik dikejutkan oleh ledakan bom di Hotel JW Marriott, Kuningan, Jakarta. Dua menit kemudian, bom kedua meledak di Hotel Ritz Carlton, Jakarta. Bom bunuh diri ini memakan korban 9 orang tewas dan 53 lainnya luka berat.

Ledakan ini membawa trauma yang mendalam, karena 2004 di tempat yang sama terjadi ladakan serupa. Mirisnya lagi, ternyata pelaku bom bunuh diri di dua tempat itu adalah seorang remaja berusia sekitar 17 tahun. Nama remaja tersebut Nana Maulana dan Dani Dwi Permana.

Saat itu, Dani baru saja lulus dari SMA Yadika Kemang Bogor, Juni 2009. Bapaknya dipenjara, dan kedua orangtuanya bercerai. Ia dikenal warga sebagai remaja yang aktif di berbagai kegiatan sosial dan keagamaan di tempat tinggalnya, di Perumahan Telaga Kahuripan. Setelah lulus, tiba-tiba Dani menghilang dari kediamannya itu.

Saat masih berstatus sebagai siswa SMA, ia sempat menjadi petugas adzan dan kebersihan masjid di Masjid As-Surur yang berada di lingkungan Candraloka Perumahan Telaga Kahuripan. Ia juga aktif di remaja Masjid As Surur dan Masjid Raya Telaga Kahuripan. Namun, secara mengejutkan ia bergabung dengan Saefudin Zuhri, anggota kelompok Noordin M Top dan menjadi pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott (Kutemukan Makna Jihad, 2011).

Fenomena remaja sebagai pelaku terorisme tidak hanya Nana dan Dani.  April 2011, Pengadilan Negeri (PN) Klaten menjatuhkan vonis dua tahun penjara kepada pelaku kasus terorisme, Arga Wiratama. Arga didakwa memasang bom di beberapa tempat, yaitu; 1. Di Pos Polisi Delanggu, Alun-Alun Utara Surakarta (depan Polsek Pasar Kliwon), 2. Di lokasi acara sebar apem di Kecamatan Jatinom, Klaten, 3. Melemparkan bom molotov ke Masjid As Syifa di dekat RSI Klaten.

Remaja kelahiran Desa Buntalan, Klaten Tengah dan masih berstatus sebagai siswa SMK di Klaten tersebut dijerat pasal terorisme. Majelis hakim menyatakan remaja berusia 17 tahun itu terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15 jo 9 UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Sindo, 08/04/2011).

Lalu, fenomena apa sebenarnya yang terjadi pada remaja kita? Bagaimana kaitannya dengan ideologisasi dan kaderisasi yang dicanangkan kelompok teroris? Berikut petikan wawancara  Lazuardi Birru dengan Psikolog Pendidikan, Dr Tjut Rifameutia, MA, di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.

Akhir-akhir ini, banyak peristiwa pengeboman yang terjadi di Indonesia, dan pelakunya rata-rata para remaja. Fenomena apa yang terjadi pada remaja kita?
Kalau kita lihat perkembangan remaja, biasanya para remaja mengalami apa yang disebut sebagai kebingungan dalam mencari identitas. Sebetulnya dia sedang mencari identitas dirinya apakah akan menjadi seperti A atau menjadi seperti B, C atau D. Dengan adanya model-model yang jelas, walaupun dia mengambil sebagian-sebagian dari model A, B, C, atau D kemudian dijadikan identitas dirinya. Tentu harapannya yang diekspose adalah hal-hal yang cukup baik.

Selain mencari identitas diri atau jati diri, masa remaja sebenarnya masa yang penuh energi dan gejolak. Pelepasan energi dalam hal yang salah atau tidak baik dan tidak pada tempatnya itu akan mendorong remaja melakukan hal yang tidak positif. Jadi, kita perlu memperhatikan para remaja yang energinya begitu besar ini, sebagian besar waktu mereka digunakan untuk apa?

Karena itu, kita harus memfasilitasinya, misalnya dengan kegiatan ekstrakurikuler. Hal tersebut sangat penting untuk menampung energi para remaja agar tersalurkan dengan baik. Di tempat itulah kemudian para remaja berbaur dan menemukan kelompoknya. Tapi ada juga yang tidak mudah berbaur dengan kelompoknya tersebut.

Orang-orang yang seperti ini (tidak mudah berbaur dengan kelompoknya, red) tentu saja mudah dipengaruhi oleh orang lain yang dia pikir lebih menerima dirinya, ketimbang kelompoknya itu. Kalau semua itu terjadi, maka dia akan mudah untuk menerima apa saja dan mungkin melakukan apa saja yang dia pikir benar, karena dia sedang mencari identitas dirinya.

Lalu apa yang bisa kita lakukan agar potensi remaja itu bisa diarahkan pada hal-hal yang positif?
Pertama, kita perlu menghargai pendapat-pendapat remaja waktu diskusi. Selain itu, dialog antara guru dengan siswa, antara orangtua dengan anak itu sangat penting, sehingga kalau ada masalah pada remaja tersebut, dia tahu kepada siapa dia harus datang. Jadi tidak ada yang kosong.

Orang yang kosong ini yang susah, dan akan mudah dipengaruhi. Jadi, pendidikan agama harus kuat dan benar, pendidikan keluarga harus baik, pendidikan di sekolah juga harus baik, sehingga diharapkan dapat membentuk suatu karakter yang positif. Karakter seperti apa? Itu yang harus dirumuskan secara jelas dari tingkat atas sampai ke bawah, sehingga dapat mendidik remaja ini ke arah karakter yang positif.

Kedua, kita juga memerlukan tanggung jawab masyarakat. Sering sekali kita melihat orang berbuat salah, tetapi kita ini belum terbiasa untuk menegur yang salah, kalau menghakimi yang dianggap salah itu sering.
Misalnya ada orang yang membuang sampah sembarangan, lalu kita menegur “Aduh, jangan buang sampah di situ dong, sebaiknya buang di tempat sampah”. Nah, menegur yang seperti ini, kita belum terbiasa karena kita merasa menggurui, tapi dalam menghukum orang yang dianggap salah kecenderungannya lebih mudah. Padahal kita perlu memberitahu, dan menegur karena kita semua anggota masyarakat.

Juli 2011, para pendukung Alqaeda –jaringan internasional– yang disinyalir kelompok militan membuat film animasi untuk anak-anak. Foto-foto yang dipenggal dari film animasi yang sedang digarap oleh pendukung Alqaeda telah diterbitkan di situs internet jihad berbahasa Arab, al-Shamouk, lembaga kontra-ektrimisme yang berbasis di London.

Lembaga tersebut mengatakan film animasi itu memperlihatkan tindakan-tindakan heroik, termasuk kontak senjata. Posting informasi tentang film animasi itu ditulis seseorang yang menyebut diri Abu al-Laith al-Yemen. Penulis posting tersebut mengatakan, film kartun Alqaeda di Jazirah Arabia adalah kisah yang sangat menarik yang menuturkan fakta-fakta tentang siapa yang merendahkan agama Islam dan Nabi.
Tujuan film tersebut sebagai proses ideologisasi dan doktrinasi untuk menggerakkan pemuda dan anak-anak agar mengikuti jejak langka tokoh mujahiddin Islam, (BBC Indonesia, 21/06/2011). Media propaganda seperti ini tentu sangat efektif dalam menyampaikan pesan, sebab anak-anak dengan mudah menangkap pesan yang tersirat dalam film kartun tersebut.

Komentar Anda seperti apa?
Jadi begini, kita juga perlu untuk mencari alternatif dalam menyampaikan pesan ke publik, khususnya pada anak-anak, karena mereka itu belajar dari apa yang dia lihat. Kalau kita buat pesan di media, tentu kita harus buat media yang cocok untuk anak-anak, dan remaja.

Misalnya kita ingin perlihatkan nilai kebaikan dan mencintai umat manusia, tentu kita harus memvisualisasikannya sesuai dengan level mereka. Dengan visualisasi gambar, anak-anak mudah menerima pesan itu.

Nah, kita juga bisa menggunakan media kartun tersebut sebagai counter atas film kartun yang dirilis Alqaeda itu. Misalnya dengan membuat film kartun atau apapun bentuknya yang mempunyai nilai-nilai baik, dan nilai-nilai kebajikan. Nilai kebajikan itu apa? Yaitu sesuatu yang kita tuju untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain dan supaya tidak menimbulkan mudarat bagi orang lain.

Peristiwa Bom Bali I 2002, Bom Bali II 2005 dan ledakan bom lain di beberapa tempat, seperti JW Marriott, Bom Kuningan, bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon, seharusnya menjadi bahan reflekasi betapa pentingnya kehidupan, dan pentingnya kedamaian bagi semua orang. Namun sayangnya peristiwa tersebut tidak diambil sebagai pelajaran. Bahkan, peristiwa serupa masih berlanjut sampai saat ini.

Di tengah peliknya persoalan radikalisme dan terorisme ini, Tjut berharap, sebaiknya memusatkan perhatian pada substansi persoalan, agar kejahatan yang tidak berkeprimanusiaan ini tidak terulang kembali. Kerena, lanjut Tjut, kalau hanya bicara sebab penyebab terus-menerus, maka fokus yang dilakukan cenderung stagnan, hanya mencari siapa yang salah dan memprosesnya secara hukum, namun tidak menyentuh substansi persoalan yang sebenarnya.

Menurut Tjut, seharusnya persoalan radikalisme dan terorisme tidak hanya dilihat dari satu persepsi saja, melainkan dilihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda agar hasil yang dicapai maksimal.
“Melihat satu persoalan dengan persepsi yang berbeda bukan berarti menjadi orang lain, tetapi sebagai upaya memahami mengapa orang lain tersebut mempunyai pandangan yang berbeda” demikian Psikolog Pendidikan ini menjelaskan.

Mengenai perbedaan persepsi tadi, bisa dijelaskan lebih jauh?
Saya melihat ada kekakuan pola pikir di sini, di mana semua hal itu dipandang melalui kacamata sendiri-sendiri. Bisa dikatakan juga tidak mampu melihat suatu persoalan dari persepsi yang berbeda. Artinya bukan harus kita menjadi orang lain, tetapi kita juga mengerti mengapa orang lain itu punya pandangan yang berbeda. Mengapa pandangannya A bukan B, seperti itu.

Karena itu, pendidikan –termasuk pendidikan di dalam keluarga—tidak hanya bisa menjamin tetapi juga bisa memulai, mengusahakan komunikasi yang baik dalam keluarga itu. Sehingga kalau ada masalah atau persoalan, semua itu bisa didiskusikan. Artinya dalam menyelesaikan suatu masalah tidak harus dengan kekerasan.

Bagaimana caranya supaya kita bisa mengerti, bisa membuka kesempatan buat orang lain untuk berbicara dan bisa menerima perbedaan? Saya lihat miss-nya itu adalah rasa menghargai perbedaan pendapat perlu dibina lebih mendalam.

Artinya pendidikan itu sangat berperan memberikan pemahaman agar bisa menerima perbedaan?
Iya, kita sering bicara mengenai pendidikan karakter, tetapi karakter seperti apa belum tuntas di bahas, sehingga usaha yang dilakukan berjalan sendiri-sendiri, yang satu lari ke  A, satu lari ke B, satu lari ke C. Seharusnya dilakukan secara bersama-sama, menyeluruh dan kompak sebagai suatu sistem yang utuh.
Misalnya di tingkat negara. Apa sebenarnya yang diharapkan dari pendidikan karakter ini? Kemudian di lingkup masyarakat, apa yang harus dilakukan supaya kita bisa memperoleh generasi yang mempunyai wawasan terbuka, bisa menerima perbedaan, bisa menyesuaikan tanpa merubah dirinya jadi orang lain. Kita bisa menjadi orang yang kuat, tidak mudah tergoda dan menyelesaikan persoalan tidak dengan cara brutal.
Sering kita lihat orang tidak puas dengan layanan telepon umum, kemudian dia menghancurkannya. Contoh lain, ada orang mencelakai orang lain tanpa sengaja, lalu orang tersebut dihakimi sendiri tanpa melalui proses hukum yang jelas. Hal-hal seperti itu perlu kita perhatikan dan kita lakukan usaha konkrit supaya kita tidak memiliki generasi yang suka main hakim sendiri dan dia pikir apa yang dia lakukan itu benar.

Dan ketika kita mempunyai suatu pandangan, bukan berarti kita harus takluk pada pandangan itu, dan kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Jadi, kemampuan analisa harus ditingkatkan, bisa mengambil keputusan yang baik, bisa bertanggung jawab dengan apa yang dilakukannya.  Tetapi saya rasa, lebih dari itu semua adalah mencintai umat manusia.

Bagaimana supaya kita yakin bahwa umat manusia harus mencintai antarsesama? Tentu lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan di sekolah bisa menunjukkan adanya atmosfir yang seperti itu. Saya yakin orang belajar dari apa yang dia lihat dan dia rasakan.

Lalu peran pendidikan agama di mana?
Nah, kita perlu melihat pendidikan agama seperti apa yang diperolehnya. Apakah pendidikan agama yang hanya mengatakan yang benar ini dan itu salah? Kita perlu ingat dalam kehidupan manusia, di samping hubungan vertikal (hubungan antara manusia dan Tuhan, red) juga ada hubungan yang sifatnya horizontal (hubungan sesama manusia, red). Jadi kehidupan bermasyarakat juga harus kita jaga agar tercipta kehidupan yang damai.

Di dunia ini, kita sebagai mahluk sosial, tentu perlu hidup bermasyarakat dan berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Jadi, nilai seperti itu (saling membutuhkan satu sama lainnya, red) yang perlu distimulasi, dibina dalam perkembangan seorang anak menjadi dewasa.

Kalau orang itu tidak bisa menerima perbedaan pendapat, tidak bisa melihat sesuatu yang berbeda dari dirinya, maka sulit untuk menumbuhkan rasa kepercayaan dan saling menghargai satu sama lainnya.
Misalnya seperti ini, semua orang harus mengenakan baju seragam karena khawatir terjadi kecemburuan sosial. Untuk meredakan kecemburuan itu akhirnya orang memakai seragam. Artinya dia harus selalu berpakaian sama, begitu melihat orang lain berpakaian beda dengan dirinya, dia kaget. Coba lihat orang luar, baju tidak perlu selalu seragam.

Kita bisa melihat filosofi contoh di atas. Artinya, kita bisa menerima perbedaan itu dari apa yang paling mudah. Nah, bisa atau tidak dia menerima perbedaan seperti itu. Kalau sekarang semua harus sama, maka sulit untuk melihat yang berbeda. Semua itu pasti ada dampaknya.

Sederhananya seperti apa?
Sederhananya seperti ini, usahakan dalam pendidikan di kelas selalu menghargai perbedaan. Misalnya ketika ada persoalan dalam kelas, kita harus pecahkan bersama-sama dan menghargai perbedaan pendapat yang ada dalam menyelesaikan masalah itu. Dalam hal ini, guru harus memberikan contoh dalam menyelesaikan persoalan secara bijak dan mengakomodir perbedaan yang ada, karena sikap guru akan dicontoh oleh murid-muridnya.

Nah, pendidikan agama seperti apa yang perlu dibina agar peserta didik bisa menerima perbedaan sebagai sunnatullah? Kita tentu punya penilaian bagaimana kita harus hidup dengan agama, dan kita juga tidak bisa menafikan kalau di sekitar kita ada orang yang memeluk agama yang berbeda.

Tugas pendidikan agama adalah menjelaskan bagaimana manusia sebagai mahluk sosial hidup dengan mereka yang berbeda agama. Kita ditantang agar bisa hidup bermasyarakat dengan baik, menerima perbedaan yang ada, termasuk perbedaan agama.

Kita perlu melihat pendidikan agama yang seperti apa yang membawa orang-orang tertentu ke arah pemahaman radikal itu. Misalnya dengan cara melihat kurikulumnya, apa yang dipelajari di sekolah, lulusannya menjadi seperti apa, kemudian kita mengevaluasinya.

Kalau kita sudah satu persepsi hendak membawa generasi muda kita ke arah karakter yang seperti apa? Maka semua elemen, termasuk sekolah harus mau membawa ke arah karakter yang sudah dicanangkan tersebut.

Tak terasa, perbincangan seputar radikalisme, terorisme, dan dunia remaja mengalir hingga siang. Dan kami mengakhiri perbincangan siang itu dengan kesimpulan bahwa persoalan radikalisme dan terorisme merupakan tugas bersama untuk menyelesaikannya.

Selain itu, pendidikan karakter bagi generasi muda sangat penting. Karena itu, pendidikan –termasuk pendidikan di dalam keluarga—harus bisa menjamin, memulai, dan mengusahakan komunikasi yang baik dalam keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Sehingga kalau ada masalah bisa didiskusikan dan dialogkan. Artinya dalam menyelesaikan suatu masalah tidak harus dengan kekerasan.

Apa pesan Anda pada generasi muda?
Untuk para remaja dan generasi muda, berhati-hatilah karena masa remaja itu sebenarnya investasi untuk masa depan, apa yang kita lakukan saat ini akan kita lihat hasilnya nanti. Jadi gunakan waktu masa remaja ini dengan sebaik-baiknya, kembangkan potensi-potensi diri, pilihlah kegiatan yang benar-benar bermanfaat, karena kita hidup hanya sekali saja.

Mudah-mudahan masa muda ini bisa diisi dengan kehidupan yang penuh berkah dan kemudian hidup kita ini bermanfaat bagi diri kita dan orang-orang di sekitar kita. Jadi, belajar secara betul, bergaul dengan banyak pihak, dan usahakan bisa melihat pandangan-pandangan yang berbeda, karena kekakuan berpikir kita biasanya hanya akan merugikan diri kita sendiri.[Aziz].

Biodata:
Nama Lengkap                        : Dr. Tjut Rifameutia, MA
Tempat, Tanggal Lahir              : Jakarta, 13 Januari 1960
Pekerjaan                                : Psikolog, Wakil Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Pendidikan                              : S3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme) 


Sumber: Lazuardi Birru









Tidak ada komentar:

Posting Komentar