Laman

Rabu, 05 Desember 2012

Siti Musdah Mulia: Tidak Ada Agama yang Membenarkan Kekerasan





Lebih dari satu dasawarsa Indonesia telah menganut sistem demokrasi. Di era reformasi ini masyarakat memiliki kebebasan luar biasa dibanding saat rezim orde baru. Sekarang setiap warga negara berhak berpendapat dan menyampaikan aspirasinya. Tak ayal jika kita kerap melihat aksi demonstrasi yang terkadang berujung dengan anarkis.

Bahkan saat ini kita sering menemukan aksi kekerasan dan sikap intoleran terhadap kelompok minoritas yang berbeda keyakinan. Dan yang mengherankan aksi radikalisme agama dan terorisme pun semakin muncul ke permukaan.

Menurut Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA, Ketua Umum Indonesia Conference of Religions and Peace (ICRP) masyarakat Indonesia telah kebablasan berpendapat dan berekspresi dalam mengartikan demokrasi. Hal ini karena masyarakat secara intelektual dan hukum belum siap untuk berdemokrasi.

Saat ini ruang publik reformasi digunakan oleh kelompok-kelompok yang tidak mengedepankan prinsip-prinsip keadaban. Mengatasnamakan demokrasi mereka mengekspresikan kebebasan semaunya sendiri secara brutal. Mereka  membajak ruang demokrasi dan publik mengatasnamakan agama, Islam, atau Tuhan.
“Satu-satunya cara untuk mengatasi masalah itu adalah membangun negara demokrasi berdasarkan hukum. Di negara ini hukum harus menjadi panglima meski pada kenyataannya pemerintah gagal menegakkan hukum,” kata Musdah saat berbincang dengan Lazuardi Birru di kantornya. Berikut perbincangan lengkapnya.

Bagaimana Anda melihat fenomena radikalisme dan terorisme di Tanah Air?
Ini menarik pasca reformasi perkembangan radikalisme semakin marak. Seharusnya kita mengenal proses demokratisasi tapi yang muncul adanya terorisme. Fenomena kebablasan berpendapat dan berekspresi saat ini karena kita belum siap secara intelektual dan hukum untuk berdemokrasi. Ruang publik reformasi digunakan oleh kelompok-kelompok yang tidak mengedepankan prinsip-prinsip keadaban. Di jaman Soeharto mereka tak dapat menyampaikan pendapat namun sekarang atas nama demokrasi mereka mengekspresikan pendapat semaunya sendiri. Kelompok radikal yang mengekspresikan kebebasan secara brutal telah membajak ruang demokrasi dan publik mengatasnamakan agama, Islam, atau Tuhan.

Mengapa radikalisme berkembang di sini?
Ada tiga hal yang menyebabkan radikalisme berkembang di Indonesia, pertama adalah kegagalan pemerintah. Kelompok radikal menyebut pemerintahan yang ditegakkan di Indonesia adalah sekuler. Mereka menganggap pemerintahan sekuler nggak bakalan bisa membawa kita sejahtera sehingga harus kembali ke pemerintahan Islam. Pemerintahan khilafah itu omong kosong dan tak jelas serta hanya slogan biasa yang memukau. Kelompok radikal seperti itu tak hanya ada di Islam tetapi di agama lain pun ada.

Kedua, terbukanya kran demokrasi. Itu dimaknai sebagai kebolehan untuk mengekspresikan pendapat secara bebas. Kelompok radikal mengekspresikan pendapat tidak memiliki prinsip keadaban dan rasa takut. Sementara kelompok prodemokrasi tidak mau menggunakan kekerasan dalam menyampaikan pendapatnya. Aksi kekerasan atas nama agama buat saya adalah prilaku yang tidak berkeadaban.
Ketiga, kita dihadapkan pada persoalan kekuatan global. Kita tidak bisa menghindari prilaku kelompok negara-negara super power yang cenderung destruktif terhadap negara-negara berkembang termasuk didalamnya negara islam.

Banyak masyarakat yang kebablasan mengekspresikan kebebasan sehingga membuat ketidaknyaman/distabilitas, apa yang harus dilakukan pemerintah?
Satu-satunya cara adalah kembali kepada ide dasar reformasi yaitu membangun negara demokrasi berdasarkan hukum. Jadi yang berkuasa adalah hukum bukan kelompok atau individu tertentu. Di negara kita hukum harus menjadi panglima tetapi faktanya sekarang kita gagal menegakkan hukum. Di negara ini hukum belum ditegakkan secara optimal sehingga pemerintah gagal dalam menegakkan hukum.

Di era reformasi masyarakat semakin percaya diri atau tak takut hukum berbuat anarkis atau melakukan serangan teror bom. Apa pendapat Anda?
Saya telah melihat video kelompok radikal. Video ini menunjukkan bahwa ada banyak faktor yang menyebabkan munculnya terorisme. Pertama, ada kepercayaan bahwa makna jihad adalah membunuh orang lain atau orang kafir. Bila individu membunuh orang kafir maka akan masuk surga. Keyakinan salah ini ditanamkan dan nyata ada di masyarakat. Banyak bukti bagaimana kegiatan rohis SMU mengajarkan bahwa Pancasila itu musyrik, sehingga harus kembali kepada Islam. Mereka mengajarkan Islam tuhanku, rasulullah nabiku, dan jihad cara matiku. Kedua, persoalan keterlibatan politik.

Pelaku terorisme menjustifikasi bahwa aksinya melakukan teror kepada nonmuslim adalah ajaran kitab suci. Apa komentar Anda?
Sebetulnya itu bukan ajaran melainkan interpretasi mereka saja. Saya yakin tidak ada ajaran kekerasan di dalam kitab suci manapun. Saya selalu yakin bahwa kitab suci itu selalu berisi ajaran-ajaran yang ideal dan luhur sebagai pegangan hidup manusia. Tetapi interpretasi kita bermasalah misalnya interpretasi yang diskriminatif, kualitatif dan tidak menghargai kemanusiaan. ICRP mencoba melawan hegemoni interpretasi yang dianut kelompok mainstream. Kita muncul bak menawarkan infilfitrasi agama yang mengedepankan perdamaian, kemanusiaan, dan melibatkan prinsip-prinsip humanisme.

Bagaimana Anda mengajarkan nilai dan prinsip tersebut?
ICRP memiliki tiga cara, pertama di ras keluarga dengan memberikan modul-modul pembelajaran bagi orang tua karena menanamkan prinsip perdamaian itu tak mudah. Nilai dan prinsip mencintai orang lain dan menghargai orang lain adalah sesuatu yang harus dirajut secara sungguh-sungguh dimulai dari keluarga. Misalnya bagaimana dalam keluarga orang tua mengajarkan kepada anak-anak sikap menghargai orang lain apapun agamanya, apapun pemahamannya, apapun keyakinannya, itu adalah pilihan. Apapun pilihan orang tetap harus kita hargai soal siapa diantara kita yang paling benar itu wallahhualam.

Tapi faktanya ada masyarakat yang intoleran atau berbuat kekerasan terhadap orang lain?
Kita mengajarkan tidak boleh menghadapi kekerasan dengan kekerasan karena tak menyelesaikan masalah, tetapi menghadapi kekerasan dengan upaya penegakan hukum dan tetap merajut perdamaian, apapun alasannya itu harus dimulai dari keluarga. Kita punya tiga ranah yakni pendidikan keluarga, pendidikan formal, dan pendidikan informal. Ketiga jenis pendidikan itu harus sungguh-sungguh berjuang memanusiakan manusia.

Kita sering melihat kelompok atau ormas tertentu melakukan kekerasan atau penyerangan terhadap kelompok lain, bagaimana Anda melihat fenomena seperti itu?
Kami melihat itu sebuah kejahatan. ICRP sebagai organisasi paling depan yang berhadapan dengan mereka tapi kita menghadapinya tidak dengan kekerasan. Kita tidak melakukan perlawanan dengan kekerasan tetapi dengan advokasi dan cara-cara persuasif.

Apakah maraknya fenomena tersebut karena penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, toleransi dan saling menghargai orang lain di masyarakat kita mulai pudar?
Terus terang saja ada banyak faktor yang menyebabkan orang tidak toleran dan tidak mau berdamai dengan sesama yang berbeda. Hal itu ada pada persoalan pendidikan, interpretasi agama, dan persoalan politik. Saya melihat pendidikan agama kita lebih banyak membangun nilai-nilai kebencian dan permusuhan terhadap orang yang berbeda. Pendidikan agama seperti itu karena pendidikan agama lebih banyak mengedepankan hal-hal yang sifatnya formal ketimbang penanaman nilai-nilai. Selanjutnya penegakan hukum kita sama sekali gagal total dan elit-elit politik kita mengambil kesempatan dalam kekeruhan seperti ini.
******
Penanganan terorisme di Indonesia mendapat apresiasi dunia internasional. Indonesia dinilai berhasil memerangi terorisme karena telah menangkap ratusan teroris dan membunuh beberapa dalang terorisme. Saat ini sejumlah napi teroris mendekam di penjara.
Musdah kecewa dengan penanganan terorisme yang dilakukan pemerintah melalui tindakan pembunuhan dengan dihukum mati atau ditembak di tempat. Menurutnya, tindakan pembunuhan tak dapat mengungkap cerita pelaku dan jaringannya. Pemerintah dapat memberikan hukuman seumur hidup tanpa harus membunuhnya.
Lantas bagaimana pandangan perempuan kelahiran Bone, 3 Maret 1958, ini tentang penanganan terorisme di Tanah Air?

Kembali ke soal terorisme, bagaimana Anda melihat penanganan terorisme yang dilakukan pemerintah selama ini?
Menurut saya tidak tuntas karena yang dilakukan adalah pembunuhan. Mengapa mereka harus dibunuh atau ditembak di tempat? Kenapa mereka tidak dibiarkan hidup agar bercerita sehingga kita mengerti ceritanya apa yang menyebabkan dan melatarbelakangi sehingga terjebak dalam kelompok teroris. Sebab kalau ditembak mati maka ceritanya tidak terungkap. Jadi sebagai warga negara saya merasa kecewa penanganannya seperti itu karena tidak yakin apakah yang ditembak itu benar-benar teroris dan tak mengetahui ceritanya.

Lalu semestinya seperti apa caranya?
Jangan ditembak mati, kenapa tidak ditangkap dan kemudian diadili di pengadilan terbuka sehingga kita melihat dan mempelajari kenapa seseorang menjadi teroris. Mereka bisa menerima hukuman seumur hidup tapi kalau hukuman mati banyak hal yang hilang. Karena itu saya menentang hukuman mati untuk alasan apapun.

Lantas apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mencegah terorisme atau radikalisme?
Ada tiga hal yaitu pertama penegakkan hukum. Siapa pun yang melanggar hukum apalagi melanggar Pancasila, kita tidak ada kompromi. Negara ini berideologi Pancasila, bukan agama karena itu kalau ada yang macam-macam harus berunding dan buat kesepakatan dulu. Sebab ideologi Pancasila adalah titipan para the founding fathers kita. Pancasila harus digali kembali dan berkembang sehingga dapat mencerahkan dan mengayomi semua warga negara yang beranekaragam.
Kedua pemerintah tidak menggunakan/memanfaatkan kebodohan dan kemiskinan masyarakat sebagai komoditas politik. Ketiga mencegah semua pemahaman yang tidak kondusif untuk bangunan demokrasi. Kita harus tegas pemahaman-pemahaman dan prinsip-prinsip demokratis dari negara ini.

Selama ini ada kelompok masyarakat yang tidak setuju dan menggugat kembali ideologi negara, mereka ingin menggantinya dengan ideologi agama. Bagaimana merevitalisasi ideologi Pancasila supaya kuat di masyarakat?
Silahkan saja mereka menggugat tapi kita harus kembali kepada kesepakatan awal pendirian bangsa ini. Kalau tidak mau maka silahkan dirikan bangsa sendiri bahkan berjuang dari awal seperti para pendahulu kita. Sudah waktunya kita melakukan interpretasi ideologi sehingga Pancasila selalu adaptif dengan persoalan sekarang. Kita tidak bisa memposisikan Pancasila seperti masa Orde Baru karena yang boleh menafsirkannya hanya pemerintah yang sama sekali tidak mengadopsi pandangan-pandangan masyarakat. Pancasila itu sungguh memiliki nilai yang luhur dan luar biasa yang sangat memadai untuk bangsa Indonesia.

Apakah berlebihan masyarakat yang ingin menjadikan negara Indonesia sebagai negara Islam dan mengusung sistem khilafah Islamiyah?
Buat saya itu tidak masuk akal. Pemerintah kita harus berani atas nama demokrasi bahwa semua orang boleh berbicara tetapi bila pandangannya tidak sejalan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 tidak boleh mengambil tempat di negara kita.

Perlu tidak pemerintah melakukan tindakan represif?
Bukan dengan tindakan represif. Pemerintah harus mewaspadai semua gerakan yang ada. Siapa pun yang melanggar aturan, melakukan kekerasan dan diskriminasi maka pemerintah tak boleh segan-segan bertindak karena mereka yang punya kekuatan. Masyarakat hanya bisa menyampaikan himbauan dan advokasi tapi pemerintah yang punya kewenangan untuk melakukan upaya-upaya.

Radikalisme dan terorisme tidak mudah untuk diberantas. Artinya pemerintah tidak bisa sendirian mengatasinya melainkan perlu kerjasama dengan masyarakat sipil. Menurut Anda apakah pemerintah telah menggandeng mereka?
Tentu saja pemerintah tidak bisa kerja sendiri tetapi sekarang bagaimana pemerintah terbuka pada masyarakat. Karena dalam banyak konflik yang sama pemerintah kok tertutup. Hak kita sebagai warga negara mendapatkan informasi publik itu adalah sangat utama dan pemerintah berkewajiban memberikan informasi kepada masyarakatnya.

Siapa yang paling bertanggung jawab menangani terorisme dan radikalisme?
Militer karena meraka memiliki kekuatan senjata, jadi merekalah yang pertama menjadi garda depan memberantas terorisme.

Apakah kementerian perlu dilibatkan?
Kalau kementerian urusan dirinya saja tidak bisa. Namun paling tidak Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Dalam Negeri berkoordinasi soal terorisme. Polisi harus tegas bila ada indikasi kekerasan dan kerusuhan. Mereka tak boleh kalah dan memberikan kesempatakan kepada masyarakat/kelompok yang ingin melakukan penyerangan/kekerasan terhadap orang lain.

Pemerintah sudah memiliki UU Antiterorisme, apakah itu cukup efektif mencegah dan menanggulangi bahaya laten terorisme?
UU tersebut perlu disosialisasikan ke masyarakat misalnya iklan di televisi supaya mengetahui dan mengerti poin-poinnya apa saja. Saya saja tidak tahu apa isi undang-undang teroris itu.
******
Bahaya laten radikalisme dan terorisme disinyalir telah masuk ke dunia pendidikan di sekolah menengah atas dan perguruan tinggi. Virus ajaran radikalisme dan terorisme disebarkan kepada para pelajar dan remaja. Pembenihan virus tersebut tak bisa dibiarkan dan berkembang di sekolah dan kampus karena bisa merusak generasi muda harapan bangsa.
Musdah mengatakan pendidikan di lingkungan keluarga terutama pendidikan agama harus diajarkan tentang kasih sayang dan menghargai orang lain. Pendidikan agama kepada seorang anak jangan diajarkan tentang ritual agama saja.
“Kita harus memperbaharui sistem pengajaran agama melalui kurikulum, perubahan visi, dan perubahan orientasi agama. Para guru diberikan orientasi terhadap bahaya paham terorisme merasuk ke dalam dunia pendidikan. Ini menjadi tanggung jawab kita bersama,” ujarnya.

Tadi Anda mengatakan pendidikan berperan penting dalam memberikan pemahaman keagamaan yang terbuka dan membangun jiwa toleran untuk hidup damai. Bagaimana peran pendidikan untuk mencegah terorisme atau anti kekerasan?
Pendidikan dimulai dari pendidikan keluarga, pendidikan agama yang diajarkan kepada anak-anak adalah bagaimana pendidikan tidak lagi mengajarkan formalitas tetapi penanaman nilai-nilai. Jadi agama itu nilai bukan soal ritual. Kalau orang diajarkan nilai keagamaan yang pertama adalah nilai kasih sayang menghargai orang lain. Untuk apa salat kalau membunuh orang lain. Meski tak seagama meskipun dia jahat maka hukumlah dengan cara yang menegakkan hukum manusia. Bila ada yang merasa mengaggap dirinya sebagai tangan Tuhan maka sejak kapan dia mendapatkan mandat itu? Saya sedih melihat anak-anak belajar agama hanya di sekolah, lalu peran orangtua apa?.

Fenomena gerakan/ideologi radikalisme telah merasuk di dunia pendidikan tingkat menengah atas hingga perguruan tinggi. Mengapa pendidikan kita bisa kebobolan dirasuki ideologi tersebut?
Pendidikan kita dalam hal beragama sangat tidak mengerti antara agama sebagai wali Tuhan dan sebagai interpretasi manusia. Saya selalu mengatakan agama adalah wali Tuhan pasti relatif sepanjang kita bisa menginterpretasi agama sebagai nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan. Sebab agama intinya kasih sayang jadi itu yang harus kita sebarkan, tapi pendidikan kita sudah sejak awal menempatkan sifatnya ke hal formalitas.

Lalu apa yang harus dilakukan supaya pendidikan tidak kebobolan?
Dengan cara memperbaharui sistem agama kita, karena sistem pendidikan berkaitan masalah agama dan karakter bangsa. Pembaharuannya melalui kurikulum, perubahan visi, dan perubahan orientasi agama. Hal itu bisa dilakukan Kementerian Agama melalui pemberian orientasi baru para guru.

Apakah perlu kurikulum khusus?
Tidak perlu, berikan saja orientasi dan buku-buku dalam rangka menghadapi terorisme. Para guru dikumpulkan diberikan orientasi terhadap bahaya paham terorisme merasuk kedalam dunia pendidikan. Ini menjadi tanggung jawab kita bersama.

Menurut Anda sendiri apa bahaya radikalisme dan terorisme?
Bahayanya menghilangkan nyawa manusia, ini betul-betul sebuah tindakan kejahatan dan menghancurkan kemanusiaan, serta menghancurkan harapan-harapan masa depan kita dan demokrasi yang sudah menjadi basis bagi para pendahulu kita.

Bagaimana agar masyarakat takut berbuat tindakan tersebut? Apakah hukuman perlu diperberat?
Penegakan hukum harus jelas bagi siapapun yang terlibat dalam upaya-upaya mulai dari mengajarkan kebencian hingga pelaku serangan teror, mereka perlu ditangkap dan diadili. Hukum berat bukan berarti harus dihukum mati, sehingga dia bisa bercerita ke orang-orang dan dia bisa menjadi pelajaran bagi masyarakat tentang masa lalunya.

Bila tak dihukum mati apakah bisa memberikan efek jera?
Bisa tapi harus benar-benar penjarannya. Saya perhatikan hidup di dalam penjara tak ada bedanya dengan di rumah, mereka bisa bawa laptop, televisi dan lainnya, lalu apa bedanya dengan tinggal di rumah.

Apakah perlu ada lembaga pemasyarakatan khusus bagi pelaku teroris?
Saya pikir mungkin iya perlu, jadi mereka tak di campur dengan tahanan politik, sehingga mereka bisa dipantau secara khusus. Lembaga pemasyarakatan bukan untuk balas dendam tetapi ada pembelajaran di dalamnya dan pembinaan sehingga mereka bisa membantu pemerintah mengungkap kerja mereka di lapangan.

Bentuknya apakah membangun lembaga pemasyarakatan baru?
Tidak juga karena nanti pemerintah punya alasan lagi untuk cari dana. Sebab kadang-kadang kalau ada usul seperti itu ada kesempatan dan lahan baru untuk korupsi, karena itu saya tidak suka ada lembaga baru. Menyedihkan bila ada lembaga baru menjadi lahan korupsi.

Ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah punya akar sampai ke level bawah, bagaimana Anda melihat potensi mereka dalam upaya membantu deradikalisasi?
Saya melihat NU bisa membantu secara struktural. Saya pernah 20 tahun aktif di NU dan tentu saja sering dilibatkan dalam banyak kegiatan sosial. Saya kira organisasi ini sudah memberikan banyak hal dalam mencegah terorisme dan aksi-aksi radikalisme di Indonesia. Saya kira peran NU dan  Muhammadiyah sudah memadai tapi mungkin perlu dipertegas lagi agar pimpinan mereka bisa muncul secara rutin di televisi atau radio untuk menyampaikan himbauan menolak segala bentuk kekerasan apalagi terorisme, sehingga gemanya terdengar secara luas di masyarakat.

Bisa dijelaskan metode pencegahannya?
Kami membuat buku-buku layaknya buku saku tentang Islam transnasional dan terorisme, yang disebarkan kepada anggota tapi belum disebarluaskan ke masyarakat umum karena keterbatasan-keterbatasan.

Belakangan ini kekerasan merajalela seolah-olah ada pembiaran dari aparat keamanan. Apakah demikian?
Ya, karena kelihatannya sampai sekarang penegakan hukum tak jalan dan upaya tegas dari pemerintah terutama aparat keamanan belum terlihat secara optimal. Selama kita masih lembek tetap saja akan terulang lagi konflik/kekerasan.

Bagaimana Anda melihat soal radikalisme dan terorisme ke depan?
Selama pemerintah kita bersikap lembek terhadap berbagai upaya terorisme, tak menegakkan hukum secara tegas, tak memperbaiki orientasi pendidikan, dan membangun interpretasi ajaran agama yang lebih damai, maka saya khawatir Indonesia menjadi markas terorisme terbesar di dunia. Mimbar Jumat kita menjadi mimbar caci maki untuk provokasi membangun kebencian terhadap yang berbeda dan itu dibiarkan begitu saja.

Apa usulan Anda yang efektif dalam melakukan deradikalisasi?
Tak lain penegakkan hukum. Di banyak negara sudah terbukti selama hukumnya jalan dengan baik dan benar maka tak ada tindakan macam-macam.

Apa closing statement Anda?
Saya mewaspadai gerakan radikalisme dan terorisme semakin marak di Indonesia akibat ketidaktegasan para elit penguasa/pemerintah. Saya khawatir ini bisa menjadi semacam ketakutan yang akan membuat kelumpuhan jalannya roda pembangunan di negara ini. Saya mengimbau pemerintah supaya tidak memberikan kompromistik terhadap upaya-upaya radikalisme dan terorisme di Indonesia sehingga masyarakat dapat membangun kembali budaya yang mengedepankan perdamaian dan cinta kasih (Akhwani Subkhi).

Biodata:
Nama Lengkap                        : Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA
Tempat, Tanggal Lahir                        : Bone, 3 Maret 1958
Pekerjaan                                 : Ketua Umum Indonesia Conference of Religions and Peace
Pendidikan                              : S3 Pemikiran Politik Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)

SumberLazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar