Lebih dari satu dasawarsa Indonesia telah
menganut sistem demokrasi. Di era reformasi ini masyarakat memiliki
kebebasan luar biasa dibanding saat rezim orde baru. Sekarang setiap
warga negara berhak berpendapat dan menyampaikan aspirasinya. Tak ayal
jika kita kerap melihat aksi demonstrasi yang terkadang berujung dengan
anarkis.
Bahkan saat ini kita sering menemukan
aksi kekerasan dan sikap intoleran terhadap kelompok minoritas yang
berbeda keyakinan. Dan yang mengherankan aksi radikalisme agama dan
terorisme pun semakin muncul ke permukaan.
Menurut Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA,
Ketua Umum Indonesia Conference of Religions and Peace (ICRP) masyarakat
Indonesia telah kebablasan berpendapat dan berekspresi dalam
mengartikan demokrasi. Hal ini karena masyarakat secara intelektual dan
hukum belum siap untuk berdemokrasi.
Saat ini ruang publik reformasi digunakan
oleh kelompok-kelompok yang tidak mengedepankan prinsip-prinsip
keadaban. Mengatasnamakan demokrasi mereka mengekspresikan kebebasan
semaunya sendiri secara brutal. Mereka membajak ruang demokrasi dan
publik mengatasnamakan agama, Islam, atau Tuhan.
“Satu-satunya cara untuk mengatasi
masalah itu adalah membangun negara demokrasi berdasarkan hukum. Di
negara ini hukum harus menjadi panglima meski pada kenyataannya
pemerintah gagal menegakkan hukum,” kata Musdah saat berbincang dengan
Lazuardi Birru di kantornya. Berikut perbincangan lengkapnya.
Bagaimana Anda melihat fenomena radikalisme dan terorisme di Tanah Air?
Ini menarik pasca reformasi perkembangan
radikalisme semakin marak. Seharusnya kita mengenal proses demokratisasi
tapi yang muncul adanya terorisme. Fenomena kebablasan berpendapat dan
berekspresi saat ini karena kita belum siap secara intelektual dan hukum
untuk berdemokrasi. Ruang publik reformasi digunakan oleh
kelompok-kelompok yang tidak mengedepankan prinsip-prinsip keadaban. Di
jaman Soeharto mereka tak dapat menyampaikan pendapat namun sekarang
atas nama demokrasi mereka mengekspresikan pendapat semaunya sendiri.
Kelompok radikal yang mengekspresikan kebebasan secara brutal telah
membajak ruang demokrasi dan publik mengatasnamakan agama, Islam, atau
Tuhan.
Mengapa radikalisme berkembang di sini?
Ada tiga hal yang menyebabkan radikalisme
berkembang di Indonesia, pertama adalah kegagalan pemerintah. Kelompok
radikal menyebut pemerintahan yang ditegakkan di Indonesia adalah
sekuler. Mereka menganggap pemerintahan sekuler nggak bakalan
bisa membawa kita sejahtera sehingga harus kembali ke pemerintahan
Islam. Pemerintahan khilafah itu omong kosong dan tak jelas serta hanya
slogan biasa yang memukau. Kelompok radikal seperti itu tak hanya ada di
Islam tetapi di agama lain pun ada.
Kedua, terbukanya kran demokrasi. Itu
dimaknai sebagai kebolehan untuk mengekspresikan pendapat secara bebas.
Kelompok radikal mengekspresikan pendapat tidak memiliki prinsip
keadaban dan rasa takut. Sementara kelompok prodemokrasi tidak mau
menggunakan kekerasan dalam menyampaikan pendapatnya. Aksi kekerasan
atas nama agama buat saya adalah prilaku yang tidak berkeadaban.
Ketiga, kita dihadapkan pada persoalan
kekuatan global. Kita tidak bisa menghindari prilaku kelompok
negara-negara super power yang cenderung destruktif terhadap
negara-negara berkembang termasuk didalamnya negara islam.
Banyak masyarakat yang kebablasan mengekspresikan kebebasan sehingga membuat ketidaknyaman/distabilitas, apa yang harus dilakukan pemerintah?
Satu-satunya cara adalah kembali kepada
ide dasar reformasi yaitu membangun negara demokrasi berdasarkan hukum.
Jadi yang berkuasa adalah hukum bukan kelompok atau individu tertentu.
Di negara kita hukum harus menjadi panglima tetapi faktanya sekarang
kita gagal menegakkan hukum. Di negara ini hukum belum ditegakkan secara
optimal sehingga pemerintah gagal dalam menegakkan hukum.
Di era reformasi masyarakat semakin percaya diri atau tak takut hukum berbuat anarkis atau melakukan serangan teror bom. Apa pendapat Anda?
Saya telah melihat video kelompok
radikal. Video ini menunjukkan bahwa ada banyak faktor yang menyebabkan
munculnya terorisme. Pertama, ada kepercayaan bahwa makna jihad adalah
membunuh orang lain atau orang kafir. Bila individu membunuh orang kafir
maka akan masuk surga. Keyakinan salah ini ditanamkan dan nyata ada di
masyarakat. Banyak bukti bagaimana kegiatan rohis SMU mengajarkan bahwa
Pancasila itu musyrik, sehingga harus kembali kepada Islam. Mereka
mengajarkan Islam tuhanku, rasulullah nabiku, dan jihad cara matiku.
Kedua, persoalan keterlibatan politik.
Pelaku terorisme menjustifikasi bahwa aksinya melakukan teror kepada nonmuslim adalah ajaran kitab suci. Apa komentar Anda?
Sebetulnya itu bukan ajaran melainkan
interpretasi mereka saja. Saya yakin tidak ada ajaran kekerasan di dalam
kitab suci manapun. Saya selalu yakin bahwa kitab suci itu selalu
berisi ajaran-ajaran yang ideal dan luhur sebagai pegangan hidup
manusia. Tetapi interpretasi kita bermasalah misalnya interpretasi yang
diskriminatif, kualitatif dan tidak menghargai kemanusiaan. ICRP mencoba
melawan hegemoni interpretasi yang dianut kelompok mainstream. Kita
muncul bak menawarkan infilfitrasi agama yang mengedepankan perdamaian,
kemanusiaan, dan melibatkan prinsip-prinsip humanisme.
Bagaimana Anda mengajarkan nilai dan prinsip tersebut?
ICRP memiliki tiga cara, pertama di ras
keluarga dengan memberikan modul-modul pembelajaran bagi orang tua
karena menanamkan prinsip perdamaian itu tak mudah. Nilai dan prinsip
mencintai orang lain dan menghargai orang lain adalah sesuatu yang harus
dirajut secara sungguh-sungguh dimulai dari keluarga. Misalnya
bagaimana dalam keluarga orang tua mengajarkan kepada anak-anak sikap
menghargai orang lain apapun agamanya, apapun pemahamannya, apapun
keyakinannya, itu adalah pilihan. Apapun pilihan orang tetap harus kita
hargai soal siapa diantara kita yang paling benar itu wallahhualam.
Tapi faktanya ada masyarakat yang intoleran atau berbuat kekerasan terhadap orang lain?
Kita mengajarkan tidak boleh menghadapi
kekerasan dengan kekerasan karena tak menyelesaikan masalah, tetapi
menghadapi kekerasan dengan upaya penegakan hukum dan tetap merajut
perdamaian, apapun alasannya itu harus dimulai dari keluarga. Kita punya
tiga ranah yakni pendidikan keluarga, pendidikan formal, dan pendidikan
informal. Ketiga jenis pendidikan itu harus sungguh-sungguh berjuang
memanusiakan manusia.
Kita sering melihat kelompok atau ormas tertentu melakukan kekerasan atau penyerangan terhadap kelompok lain, bagaimana Anda melihat fenomena seperti itu?
Kami melihat itu sebuah kejahatan. ICRP
sebagai organisasi paling depan yang berhadapan dengan mereka tapi kita
menghadapinya tidak dengan kekerasan. Kita tidak melakukan perlawanan
dengan kekerasan tetapi dengan advokasi dan cara-cara persuasif.
Apakah maraknya fenomena tersebut karena penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, toleransi dan saling menghargai orang lain di masyarakat kita mulai pudar?
Terus terang saja ada banyak faktor yang
menyebabkan orang tidak toleran dan tidak mau berdamai dengan sesama
yang berbeda. Hal itu ada pada persoalan pendidikan, interpretasi agama,
dan persoalan politik. Saya melihat pendidikan agama kita lebih banyak
membangun nilai-nilai kebencian dan permusuhan terhadap orang yang
berbeda. Pendidikan agama seperti itu karena pendidikan agama lebih
banyak mengedepankan hal-hal yang sifatnya formal ketimbang penanaman
nilai-nilai. Selanjutnya penegakan hukum kita sama sekali gagal total
dan elit-elit politik kita mengambil kesempatan dalam kekeruhan seperti
ini.
******
Penanganan terorisme di Indonesia
mendapat apresiasi dunia internasional. Indonesia dinilai berhasil
memerangi terorisme karena telah menangkap ratusan teroris dan membunuh
beberapa dalang terorisme. Saat ini sejumlah napi teroris mendekam di
penjara.
Musdah kecewa dengan penanganan terorisme
yang dilakukan pemerintah melalui tindakan pembunuhan dengan dihukum
mati atau ditembak di tempat. Menurutnya, tindakan pembunuhan tak dapat
mengungkap cerita pelaku dan jaringannya. Pemerintah dapat memberikan
hukuman seumur hidup tanpa harus membunuhnya.
Lantas bagaimana pandangan perempuan kelahiran Bone, 3 Maret 1958, ini tentang penanganan terorisme di Tanah Air?
Kembali ke soal terorisme, bagaimana Anda melihat penanganan terorisme yang dilakukan pemerintah selama ini?
Menurut saya tidak tuntas karena yang
dilakukan adalah pembunuhan. Mengapa mereka harus dibunuh atau ditembak
di tempat? Kenapa mereka tidak dibiarkan hidup agar bercerita sehingga
kita mengerti ceritanya apa yang menyebabkan dan melatarbelakangi
sehingga terjebak dalam kelompok teroris. Sebab kalau ditembak mati maka
ceritanya tidak terungkap. Jadi sebagai warga negara saya merasa kecewa
penanganannya seperti itu karena tidak yakin apakah yang ditembak itu
benar-benar teroris dan tak mengetahui ceritanya.
Lalu semestinya seperti apa caranya?
Jangan ditembak mati, kenapa tidak
ditangkap dan kemudian diadili di pengadilan terbuka sehingga kita
melihat dan mempelajari kenapa seseorang menjadi teroris. Mereka bisa
menerima hukuman seumur hidup tapi kalau hukuman mati banyak hal yang
hilang. Karena itu saya menentang hukuman mati untuk alasan apapun.
Lantas apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mencegah terorisme atau radikalisme?
Ada tiga hal yaitu pertama penegakkan
hukum. Siapa pun yang melanggar hukum apalagi melanggar Pancasila, kita
tidak ada kompromi. Negara ini berideologi Pancasila, bukan agama karena
itu kalau ada yang macam-macam harus berunding dan buat kesepakatan
dulu. Sebab ideologi Pancasila adalah titipan para the founding fathers
kita. Pancasila harus digali kembali dan berkembang sehingga dapat
mencerahkan dan mengayomi semua warga negara yang beranekaragam.
Kedua pemerintah tidak
menggunakan/memanfaatkan kebodohan dan kemiskinan masyarakat sebagai
komoditas politik. Ketiga mencegah semua pemahaman yang tidak kondusif
untuk bangunan demokrasi. Kita harus tegas pemahaman-pemahaman dan
prinsip-prinsip demokratis dari negara ini.
Selama ini ada kelompok masyarakat yang tidak setuju dan menggugat kembali ideologi negara, mereka ingin menggantinya dengan ideologi agama. Bagaimana merevitalisasi ideologi Pancasila supaya kuat di masyarakat?
Silahkan saja mereka menggugat tapi kita
harus kembali kepada kesepakatan awal pendirian bangsa ini. Kalau tidak
mau maka silahkan dirikan bangsa sendiri bahkan berjuang dari awal
seperti para pendahulu kita. Sudah waktunya kita melakukan interpretasi
ideologi sehingga Pancasila selalu adaptif dengan persoalan sekarang.
Kita tidak bisa memposisikan Pancasila seperti masa Orde Baru karena
yang boleh menafsirkannya hanya pemerintah yang sama sekali tidak
mengadopsi pandangan-pandangan masyarakat. Pancasila itu sungguh
memiliki nilai yang luhur dan luar biasa yang sangat memadai untuk
bangsa Indonesia.
Apakah berlebihan masyarakat yang ingin menjadikan negara Indonesia sebagai negara Islam dan mengusung sistem khilafah Islamiyah?
Buat saya itu tidak masuk akal.
Pemerintah kita harus berani atas nama demokrasi bahwa semua orang boleh
berbicara tetapi bila pandangannya tidak sejalan dengan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945 tidak boleh mengambil tempat di negara kita.
Perlu tidak pemerintah melakukan tindakan represif?
Bukan dengan tindakan represif.
Pemerintah harus mewaspadai semua gerakan yang ada. Siapa pun yang
melanggar aturan, melakukan kekerasan dan diskriminasi maka pemerintah
tak boleh segan-segan bertindak karena mereka yang punya kekuatan.
Masyarakat hanya bisa menyampaikan himbauan dan advokasi tapi pemerintah
yang punya kewenangan untuk melakukan upaya-upaya.
Radikalisme dan terorisme tidak mudah untuk diberantas.
Artinya pemerintah tidak bisa sendirian mengatasinya melainkan perlu
kerjasama dengan masyarakat sipil. Menurut Anda apakah pemerintah telah
menggandeng mereka?
Tentu saja pemerintah tidak bisa kerja
sendiri tetapi sekarang bagaimana pemerintah terbuka pada masyarakat.
Karena dalam banyak konflik yang sama pemerintah kok tertutup. Hak kita
sebagai warga negara mendapatkan informasi publik itu adalah sangat
utama dan pemerintah berkewajiban memberikan informasi kepada
masyarakatnya.
Siapa yang paling bertanggung jawab menangani terorisme dan radikalisme?
Militer karena meraka memiliki kekuatan senjata, jadi merekalah yang pertama menjadi garda depan memberantas terorisme.
Apakah kementerian perlu dilibatkan?
Kalau kementerian urusan dirinya saja
tidak bisa. Namun paling tidak Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan
HAM, dan Kementerian Dalam Negeri berkoordinasi soal terorisme. Polisi
harus tegas bila ada indikasi kekerasan dan kerusuhan. Mereka tak boleh
kalah dan memberikan kesempatakan kepada masyarakat/kelompok yang ingin
melakukan penyerangan/kekerasan terhadap orang lain.
Pemerintah sudah memiliki UU Antiterorisme, apakah itu cukup efektif mencegah dan menanggulangi bahaya laten terorisme?
UU tersebut perlu disosialisasikan ke
masyarakat misalnya iklan di televisi supaya mengetahui dan mengerti
poin-poinnya apa saja. Saya saja tidak tahu apa isi undang-undang
teroris itu.
******
Bahaya laten radikalisme dan terorisme
disinyalir telah masuk ke dunia pendidikan di sekolah menengah atas dan
perguruan tinggi. Virus ajaran radikalisme dan terorisme disebarkan
kepada para pelajar dan remaja. Pembenihan virus tersebut tak bisa
dibiarkan dan berkembang di sekolah dan kampus karena bisa merusak
generasi muda harapan bangsa.
Musdah mengatakan pendidikan di
lingkungan keluarga terutama pendidikan agama harus diajarkan tentang
kasih sayang dan menghargai orang lain. Pendidikan agama kepada seorang
anak jangan diajarkan tentang ritual agama saja.
“Kita harus memperbaharui sistem
pengajaran agama melalui kurikulum, perubahan visi, dan perubahan
orientasi agama. Para guru diberikan orientasi terhadap bahaya paham
terorisme merasuk ke dalam dunia pendidikan. Ini menjadi tanggung jawab
kita bersama,” ujarnya.
Tadi Anda mengatakan pendidikan berperan penting dalam memberikan pemahaman keagamaan yang terbuka dan membangun jiwa toleran untuk hidup damai. Bagaimana peran pendidikan untuk mencegah terorisme atau anti kekerasan?
Pendidikan dimulai dari pendidikan
keluarga, pendidikan agama yang diajarkan kepada anak-anak adalah
bagaimana pendidikan tidak lagi mengajarkan formalitas tetapi penanaman
nilai-nilai. Jadi agama itu nilai bukan soal ritual. Kalau orang
diajarkan nilai keagamaan yang pertama adalah nilai kasih sayang
menghargai orang lain. Untuk apa salat kalau membunuh orang lain. Meski
tak seagama meskipun dia jahat maka hukumlah dengan cara yang menegakkan
hukum manusia. Bila ada yang merasa mengaggap dirinya sebagai tangan
Tuhan maka sejak kapan dia mendapatkan mandat itu? Saya sedih melihat
anak-anak belajar agama hanya di sekolah, lalu peran orangtua apa?.
Fenomena gerakan/ideologi radikalisme telah merasuk di dunia pendidikan tingkat menengah atas hingga perguruan tinggi. Mengapa pendidikan kita bisa kebobolan dirasuki ideologi tersebut?
Pendidikan kita dalam hal beragama sangat
tidak mengerti antara agama sebagai wali Tuhan dan sebagai interpretasi
manusia. Saya selalu mengatakan agama adalah wali Tuhan pasti relatif
sepanjang kita bisa menginterpretasi agama sebagai nilai-nilai keadilan,
kesetaraan, dan kemanusiaan. Sebab agama intinya kasih sayang jadi itu
yang harus kita sebarkan, tapi pendidikan kita sudah sejak awal
menempatkan sifatnya ke hal formalitas.
Lalu apa yang harus dilakukan supaya pendidikan tidak kebobolan?
Dengan cara memperbaharui sistem agama
kita, karena sistem pendidikan berkaitan masalah agama dan karakter
bangsa. Pembaharuannya melalui kurikulum, perubahan visi, dan perubahan
orientasi agama. Hal itu bisa dilakukan Kementerian Agama melalui
pemberian orientasi baru para guru.
Apakah perlu kurikulum khusus?
Tidak perlu, berikan saja orientasi dan
buku-buku dalam rangka menghadapi terorisme. Para guru dikumpulkan
diberikan orientasi terhadap bahaya paham terorisme merasuk kedalam
dunia pendidikan. Ini menjadi tanggung jawab kita bersama.
Menurut Anda sendiri apa bahaya radikalisme dan terorisme?
Bahayanya menghilangkan nyawa manusia,
ini betul-betul sebuah tindakan kejahatan dan menghancurkan kemanusiaan,
serta menghancurkan harapan-harapan masa depan kita dan demokrasi yang
sudah menjadi basis bagi para pendahulu kita.
Bagaimana agar masyarakat takut berbuat tindakan tersebut? Apakah hukuman perlu diperberat?
Penegakan hukum harus jelas bagi siapapun
yang terlibat dalam upaya-upaya mulai dari mengajarkan kebencian hingga
pelaku serangan teror, mereka perlu ditangkap dan diadili. Hukum berat
bukan berarti harus dihukum mati, sehingga dia bisa bercerita ke
orang-orang dan dia bisa menjadi pelajaran bagi masyarakat tentang masa
lalunya.
Bila tak dihukum mati apakah bisa memberikan efek jera?
Bisa tapi harus benar-benar penjarannya.
Saya perhatikan hidup di dalam penjara tak ada bedanya dengan di rumah,
mereka bisa bawa laptop, televisi dan lainnya, lalu apa bedanya dengan
tinggal di rumah.
Apakah perlu ada lembaga pemasyarakatan khusus bagi pelaku teroris?
Saya pikir mungkin iya perlu, jadi mereka
tak di campur dengan tahanan politik, sehingga mereka bisa dipantau
secara khusus. Lembaga pemasyarakatan bukan untuk balas dendam tetapi
ada pembelajaran di dalamnya dan pembinaan sehingga mereka bisa membantu
pemerintah mengungkap kerja mereka di lapangan.
Bentuknya apakah membangun lembaga pemasyarakatan baru?
Tidak juga karena nanti pemerintah punya
alasan lagi untuk cari dana. Sebab kadang-kadang kalau ada usul seperti
itu ada kesempatan dan lahan baru untuk korupsi, karena itu saya tidak
suka ada lembaga baru. Menyedihkan bila ada lembaga baru menjadi lahan
korupsi.
Ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah punya akar sampai ke level bawah, bagaimana Anda melihat potensi mereka dalam upaya membantu deradikalisasi?
Saya melihat NU bisa membantu secara
struktural. Saya pernah 20 tahun aktif di NU dan tentu saja sering
dilibatkan dalam banyak kegiatan sosial. Saya kira organisasi ini sudah
memberikan banyak hal dalam mencegah terorisme dan aksi-aksi radikalisme
di Indonesia. Saya kira peran NU dan Muhammadiyah sudah memadai tapi
mungkin perlu dipertegas lagi agar pimpinan mereka bisa muncul secara
rutin di televisi atau radio untuk menyampaikan himbauan menolak segala
bentuk kekerasan apalagi terorisme, sehingga gemanya terdengar secara
luas di masyarakat.
Bisa dijelaskan metode pencegahannya?
Kami membuat buku-buku layaknya buku saku
tentang Islam transnasional dan terorisme, yang disebarkan kepada
anggota tapi belum disebarluaskan ke masyarakat umum karena
keterbatasan-keterbatasan.
Belakangan ini kekerasan merajalela seolah-olah ada pembiaran dari aparat keamanan. Apakah demikian?
Ya, karena kelihatannya sampai sekarang
penegakan hukum tak jalan dan upaya tegas dari pemerintah terutama
aparat keamanan belum terlihat secara optimal. Selama kita masih lembek
tetap saja akan terulang lagi konflik/kekerasan.
Bagaimana Anda melihat soal radikalisme dan terorisme ke depan?
Selama pemerintah kita bersikap lembek
terhadap berbagai upaya terorisme, tak menegakkan hukum secara tegas,
tak memperbaiki orientasi pendidikan, dan membangun interpretasi ajaran
agama yang lebih damai, maka saya khawatir Indonesia menjadi markas
terorisme terbesar di dunia. Mimbar Jumat kita menjadi mimbar caci maki
untuk provokasi membangun kebencian terhadap yang berbeda dan itu
dibiarkan begitu saja.
Apa usulan Anda yang efektif dalam melakukan deradikalisasi?
Tak lain penegakkan hukum. Di banyak
negara sudah terbukti selama hukumnya jalan dengan baik dan benar maka
tak ada tindakan macam-macam.
Apa closing statement Anda?
Saya mewaspadai gerakan radikalisme dan
terorisme semakin marak di Indonesia akibat ketidaktegasan para elit
penguasa/pemerintah. Saya khawatir ini bisa menjadi semacam ketakutan
yang akan membuat kelumpuhan jalannya roda pembangunan di negara ini.
Saya mengimbau pemerintah supaya tidak memberikan kompromistik terhadap
upaya-upaya radikalisme dan terorisme di Indonesia sehingga masyarakat
dapat membangun kembali budaya yang mengedepankan perdamaian dan cinta
kasih (Akhwani Subkhi).
Biodata:
Nama Lengkap : Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA
Tempat, Tanggal Lahir : Bone, 3 Maret 1958
Pekerjaan : Ketua Umum Indonesia Conference of Religions and Peace
Pendidikan : S3 Pemikiran Politik Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar