Pascapenembakan terhadap 3 polisi di
Mapolsek Pirime, Kabupaten Lanny Jaya, Papua, pekan lalu, sebagian kecil
kalangan memertanyakan sikap polisi yang tidak menyebut pelaku sebagai
kelompok teroris. Padahal aksi yang diduga kuat dilakukan oleh kelompok
separatis itu sama dengan pembunuhan polisi di Solo dan Poso, September
dan Oktober 2012.
“BNPT dan kepolisian sangat hipokrit
dengan tidak menyebut pembunuh tiga polisi tersebut sebagai teroris.
Kalau konsisten, harusnya para penyerang dengan motif etnonasionalisme
dan separatisme adalah tindakan terorisme,” kata Harits Abu Ulya,
Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) seperti
dilansir laman Indonesia Today, Kamis (29/11/2012).
Haris beralasan, pelaku merupakan anggota
dari organisasi yang memiliki visi politik dan melakukan aksi teror
untuk memengaruhi iklim politik keamanan dan kedaulatan Negara.
Pendapat itu dibantah oleh peneliti
radikalisme, Najib Azka, Ph.D, lantaran tidak membedakan motif aksi
teroris yang dilakukan oleh kelompok radikal di Indonesia dengan motif
tindak kekerasan bersenjata oleh kelompok separatis.
“Terorisme yang terjadi selama ini
ditujukan kepada kelompok sipil. Sementara kekerasan yang dilakukan oleh
kelompok separatis menyasar kepada aparat pertahanan Negara yaitu TNI.
Hal itu untuk menunjukkan perlawanan mereka kepada Negara yang ia anggap
sebagai penjajah di wilayahnya,” ujar pengajar FISIP Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta itu kepada Lazuardi Birru.
Ia mengakui, dalam beberapa kasus
mutakhir kelompok separatis seperti Organisasi Papua Merdeka dan
Republik Maluku Selatan (RMS) juga mengadopsi strategi kelompok teroris
yang menyasar sipil, termasuk kepada polisi.
“Polisi itu kan sipil bersenjata yang
bukan angkatan perang. Namun strategi itu diadopsi oleh oleh kelompok
separatis untuk melemahkan moral dan strategi Negara sebagai musuhnya,”
terangnya.
Dalam perspektif separatis, lanjut Najib,
aksi teror adalah perpanjangan strategi untuk mencapai tujuan pemisahan
dari teritorial Negara tertentu, bukan bagian inheren dalam kontruksi
ideologinya. Sementara dari sekian aksi terorisme di Indonesia, motif
mereka adalah balas dendam dan perlawanan terhadap Barat, bukan
pendirian Negara Islam.
M. Wildan, Ph.D, peneliti radikalisme UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, mengakui bahwa perbedaan separatisme dengan
terorisme amat tipis. “Aksi kekerasan yang dilakukan oleh teroris
dilandasi ideologi keagamaan, sedangkan separatisme didasari oleh
semangat etnonasionalisme,” ungkapnya kepada Lazuardi Birru.
Ia menjelaskan, kasus OPM dan RMS,
walaupun ada sedikit muatan perbedaan agama, namun tidak ada kaitan
dengan ideologi agama tertentu. Pasalnya diketahui beberapa aktivis OPM
juga beragama Islam.
Jika berkaca pada aksi-aksi teror yang
dilakukan oleh aktivis Darul Islam di era Orde Baru, seperti yang
dilakukan oleh kelompok yang populer disebut Komando Jihad, di mana
tujuan jangka panjangnya adalah menegakkan Negara Islam, saat itu mereka
dijerat dengan UU subversif dan KUH Pidana umum, lantaran belum ada UU
Terorisme. Jika UU Terorisme sudah ada, bisa saja mereka dijerat
lantaran target aksinya adalah masyarakat sipil. (fiQ)
Sumber: Lazuardi Birru
Darimana lah definisi terorisme harus dilandasi agama... itu mah definisi AS laknatullah... baca lagi deh ensiklopedi bahasa apa itu terorisme... Inilah en do ne sah... sok orang pinter rupone keblinger
BalasHapusHahaha....sama juga sejarah perjuangan bangsa indonesia dibentuk dari kumpulan TERORIS
BalasHapusIDIOLOGI kalo dicampur semua kepentingan sama persis dengan tulisan anda ini
Persis mau pesan makanan gado2 ...manis asim pedis sama rasahnya