Rabu, 22 Mei 2013

Alquran Memiliki Posisi Sentral dalam Kehidupan Umat





Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan, sebagai kitab suci yang berisikan firman Tuhan, Alquran memiliki posisi sentral dalam kehidupan umat Islam. Karena itu tidak berlebihan, bila ada yang mengatakan, peradaban Islam adalah “peradaban teks” (hadhâratu al-nashsh), dalam arti peradaban yang lahir dari hasil interaksi manusia dengan teks dan alam semesta.

Penegasan tersebut disampaikan Menag Suryadharma Ali saat membuka Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Ulama Al-quran di Serang, Banteng, Selasa malam (22/05). Menag mengatakan, interaksi dengan Alquran tidak hanya dengan membaca dan menghafalnya, tetapi lebih dari itu, memahami, menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan begitu, Alquran akan terasa hadir dalam kehidupan, berbicara dengan manusia di setiap ruang dan waktu, serta memberikan solusi bagi berbagai persoalan kemanusiaan. Itulah maksud di balik pesan Imam Ali karramallâhu wajhah, dzâlikal kitâb fastanthiqûhu (itulah Alquran yang agung, maka ajaklah ia berbicara).

Menag mengungkapkan bahwa persoalan kitab suci memang bukan hanya persoalan teks. Sejarah telah membuktikan, Alquran adalah kitab suci yang terpelihara kesahihan dan keaslian teks-teksnya. Jaminan keterpeliharaannya dinyatakan sendiri oleh Allah dalam firmannya, Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Alquran, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya (QS. Al-Hijr : 9)
“Dalam prosesnya, tentu dengan keterlibatan banyak pihak, seperti para penghafal Alquran, penerbit dan percetakan Alquran, dan sebagainya,” ungkapnya.

Mukernas Ulama Alquran diselenggarakan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran (LPMA) Balitbang Diklat, Kementerian Agama. LPMA sudah berkiprah sejak 1957 dalam bentuk tim ad hoc di Kementerian Agama. Sejak 2007, LPMA menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah binaan Badan Litbang dan Diklat. Dalam perjalanan kiprahnya, LPMA terus berupaya menjaga kesahihan teks Alquran.

Melalui LPMA, lanjut Menag, Pemerintah ingin memastikan agar tidak ada kesalahan, sekecil apa pun, di dalam mushaf yang beredar di Indonesia. “Dalam berbagai kesempatan, saya tidak bosan-bosan mengingatkan kepada masyarakat, agar segera melaporkan kepada Kementerian Agama bila ditemukan kesalahan dalam mushaf Alquran yang beredar,” pesan Menag.[az]

#Kemenag

Presiden: Islam dan Kerbangsaan Tak Boleh Dibenturkan





Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menegaskan Islam dan negara Indonesia tidak boleh dibenturkan. Bahkan, pendahulu bangsa seperti KH Hasyim Asyari telah menegaskan hal itu sejak zaman perjuangan kemerdekaan. Hal itu disampaikan SBY seusai menonton film sang Kiai di Jakarta, Senin (20/5).
Film berdurasi sekitar dua jam itu menceritakan kehidupan dan aksi perjuangan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asyari. "Film tadi mengajarkan tidak ada jarak antara Islam dan Indonesia. Para pemimpin tidak memisahkan ini. Itu kekuatan bangsa," kata Presiden.

Presiden mengatakan, KH Hasyim Asyari dan pimpinan NU berdiri di depan untuk tidak mendikotomikan antara paham Islam dan kebangsaan.

Dia menilai film tersebut membawa banyak pelajaran penting. "Dalam peperangan selalu ada kebijakan, wisdom, dan etika, apalagi dalam menjalankan kehidupan sehari-hari dan mengelola negara. Meskipun tidak mudah mencapai Indonesia merdeka waktu itu, dengan perjuangan yang gigih, Indonesia akhirnya merdeka," ujar dia.

Presiden Yudhoyono mengingatkan, di antara seluruh bangsa Indonesia, bisa saja berbeda dalam posisi politik atau apapun. "Namun untuk merah putih dan kedaulatan negara, kita harus menjadi satu," tambah dia.
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj yang juga hadir dalam acara itu menilai film sang Kiai itu sangat luar biasa dan sarat dengan nilai patriotisme. Ia pun mengungkapkan, film tersebut mengangkat peran KH Hasyim Asyari serta NU dalam perjuangan kemerdekaan.

"Banyak orang melupakan dan pura-pura lupa atas peranan Kiai Hasyim Asyari dan NU. Mampu meluruskan sejarah, karena dalam buku tidak ada detil peran dalam perjuangan NU dan KH Hasyim Asyari," ujarnya.

Selain Said Aqil, juga hadir Ketua Yayasan Hasim Asy'ari, Salahuddin Wahid. Sejumlah pendukung dan pemeran juga hadir, seperti produser Gope T Samtani dan para pemain, Ikranagara (pemeran Hasyim Asy’ari), Christine Hakim, Agus Kuncoro, Adipati Dolken, Meryza Batubara, Norman Akuwen, Dimas Aditya, dan Suzuki Naburo.

Film ini berkisah tentang kiai yang lahir di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, pada 10 April 1875. Dikisahkan, sang kiai juga aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.
Bersama KH Bisri Syamsuri, KH Wahab Hasbullah, dan ulama besar lainnya, mereka mendirikan sebuah organisasi Jam’iyah Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama) pada 31 Januari 1926 di Jombang.[az]

#MetroNews

Selasa, 21 Mei 2013

JK: Indonesia Tak Setuju Selesaikan Konflik Rohingya dengan Cara Relokasi





Relokasi bukan solusi dalam menyelesaikan konflik etnis Rohingya di Myanmar. Karena itu Pemerintah Indonesia tidak setuju penyelesaian konflik di Myanmar tersebut dengan cara relokasi. Hal itu diungkapkan Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla (JK) di Makasar, Senin.

“Kami bersikeras akan membantu rehabilitasi, tetapi tidak relokasi. Kami tidak setuju relokasi karena masyarakat di sana tidak menginginkan itu,” kata mantan wakil presiden RI itu.

Pemberian bantuan tersebut lebih difokuskan pada perbaikan infrastruktur dan kerugian yang dialami oleh korban konflik etnis itu. "Kami membantu seperti mengganti dan memperbaiki rumah yang rusak, tapi sampai saat ini belum ada persetujuan," imbuhnya.

Pemberian bantuan dari negara asing, terutama negara Islam, ke Myanmar untuk korban konflik etnis tersebut memang dibatasi oleh pemerintah setempat. Masyarakat di sana sangat sensitif terhadap pemberian bantuan dari negara Islam, padahal Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) ingin membantu.
Dia menceritakan bahwa konflik yang terjadi di Rohingnya tidak jauh berbeda dengan konflik di Poso dan Ambon beberapa waktu silam.

Konflik etnis di Rohingnya terlalu kompleks hingga menyeret banyak aspek, antara lain politik, sejarah, kultural dan agama. "Di sana parpol tidak boleh membantu, termasuk (Aung San) Suu Kyi yang sama sekali tidak boleh memberikan komentarnya," ungkapnya.

Konflik etnis Rohingnya di Myanmar semakin berlanjut hingga menyebabkan sejumlah warga Rohingnya melarikan diri untuk mencari perlindungan hingga ke sejumlah negara tetangga, termasuk Indonesia.[az]

#Antara