Selasa, 26 Februari 2013

Quraish Shihab: Jangan Korbankan Toleransi Atas Nama Aqidah, Pun Sebaliknya


 

Dalam agama Islam dikenal istilah tasamuh untuk merujuk pada toleransi. Menurut Quraish Shihab toleransi adalah batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih dapat diterima. Toleransi adalah penyimpangan yang tadinya harus dilakukan menjadi tidak dilakukan. singkatnya penyimpangan yang dapat dibenarkan.

Islam menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial dan memiliki berbagai macam perbedaan. perbedaan bukan hanya keniscayaan tetapi juga kebutuhan. Tapi pada saat yang sama Tuhan menghendaki juga agar manusia bersama. Bersama dengan Tuhan dan bersama dengan seluruh manusia.

“Keniscayaan perbedaan dan keharusan persatuan itulah yang mengantar manusia harus bertoleransi. Karena semua manusia mendambakan kedamaian. Tanpa toleransi tidak mungkin ada kedamaian. Semua manusia mendambakan kemaslahatan, dan tanpa toleransi tidak akan ada kemaslahatan. Semua menginginkan kemajuan dan tanpa toleransi kemajuan tidak akan tercapai” Ungkap pakar tafsir Quraish Shihab.
Islam memahami toleransi bukan saja dalam kehidupan bermasyarakat tetapi juga dalam kehidupan beragama. Banyak sekali contoh dalam al Qur’an dan juga kisah nabi SAW yang memperlihatkan kadar toleransi yang sangat begitu tinggi.

Quraish Shihab mengkisahkan, dalam perjanjian Hudaibiyyah, nabi SAW menulis kata bismillahi rahmani rohim pada perjanjian. Namun orang-orang musyrik tidak terima dengan kalimat basmallah tersebut. Mereka menginginkan ditulis bismikallauhumma. Dan nabi SAW akhirnya menyetujuinya. Sebenarnya para sahabat tidak bisa mentoleransi hal tersebut. Tetapi nabi SAW yang penuh dengan toleransi menghapus kata itu demi kemaslahatan dan perdamian.

Menurut Quraish Shihab kita memang tidak boleh mengorbankan aqidah demi toleransi, tetapi dalam saat yang sama kita tidak boleh mengorbankan toleransi atas nama aqidah. Karena itu sekian banyak ayat al Qur’an berbicara dan menganjurkan untuk bertoleransi, misalnya dalam surat Saba’ 25-26. [Mh].

Sumber: Lazuardi Birru

KPAI Desak Pemerintah Atasi Radikalisme Agama di Sekolah


 

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Badriyah Fayumi mengatakan sejumlah sekolah telah mengajarkan intoleransi dan mengarahkan siswa untuk memiliki fanatisme terhadap ajaran agama tertentu.
Badriyah Fayumi mengatakan bahwa indoktrinasi semacam itu sudah berjalan melalui kegiatan yang sistematis di sejumlah lembaga pendidikan, dan akan berbahaya jika dibiarkan.

Anak, menurut Badriyah, sangat rawan menjadi korban indoktrinasi dan juga rentan untuk meneruskan tradisi intoleransi.  Ia menambahkan kurikulum pendidikan harus betul-betul memiliki muatan yang mengajarkan toleransi.

“Radikalisme di sekolah itu terjadi dari level yang paling dini sampai level perguruan tinggi, antara lain melalui proses indoktrinasi bahwa yang lain yang tidak sama seperti kita adalah musuh kita, boleh kita serang, boleh kita perangi,” ujar Badriyah.

“Bahkan kami mendapatkan pengaduan dari guru TK di Depok, yang kemudian ayahnya mengeluarkan anaknya dari TK tersebut, karena anaknya pulang mengatakan bahwa ‘Oh, itu berbeda agamanya dengan kita, berarti dia boleh dibunuh’.”

Badriyah mengatakan kasus indoktrinasi seperti itu juga dapat terjadi melalui kegiatan ekstrakurikuler keagamaan yang ada di sekolah. [Mh].


Sumber: Lazuardi Birru

Kang Jalal Tawarkan Islam Madani untuk Indonesia


 

Konflik berlatar belakang agama masih kerap hinggap di negeri ini. Agama, yang semestinya bersemangat pembebasan dan menebarkan kedamaian bagi sesama manusia, ternyata justru kerap memicu pertentangan, bahkan mengusik keutuhan bangsa yang majemuk ini.

Menurut cendekiawan muslim, Jalaluddin Rakhmat, Indonesia perlu mengembangkan pemahaman agama madani. Ini bukan agama baru, melainkan pemahaman yang mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama dan berkonsentrasi memberikan sumbangan bagi kemanusiaan dan peradaban.
”Pemahaman agama madani paling cocok untuk dikembangkan dalam kehidupan modern dan demokratis, seperti di Indonesia sekarang ini,” tuturnya.

Berangkat dari analisisnya, Kang Jalal menawarkan wacana agama madani dan memetakan fenomena pemahaman keislaman di Indonesia. Bagi dia, ada tiga jenis pemahaman Islam: Islam fiqhiy, Islam siyasiy, dan Islam madani. Islam madani merupakan pencapaian akhir dari dua tahapan pemikiran sebelumnya.

Wacana Islam madani berpusat pada kasih sayang kepada sesama manusia sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua orang, rahmatan lil’alamin. Kesalehan diukur dari kadar cinta seseorang kepada sesama. Setiap pemeluk agama bisa memberikan makna dalam kehidupannya dengan berkhidmat pada kemanusiaan.
Jika Islam fiqhiy itu berkutat pada urusan fikh dan Islam siyasiy pada politik, Islam madani berpusat pada karakter, akhlak. Tujuannya untuk membangun akhlak yang baik pada sesama manusia dalam kehidupan yang majemuk. [Mh].


Sumber: Lazuardi Birru