Kamis, 20 Desember 2012

Ormas Islam Mitra Strategis dalam Pengembangan Kualitas Umat



Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, Abdul Djamil mengatakan, organisasi kemasyarakatan Islam merupakan mitra strategis dalam upaya mengembangkan kualitas umat Islam saat ini dan di masa mendatang. Karena Kemenag tidak tidak bisa bekerja sendiri tanpa bermitra dengan ormas-ormas.

“Ormas mitra strategis Kemenag dalam rangka mengembangkan Islam di masa mendatang,” kata Abdul Djamil saat mewakili Menteri Agama Suryadharma Ali pada pembukaan Musyawarah Kerja Nasional III Pimpinan Pusat Persatuan Islam, Jumat di Bandung, Jawa Barat.

Ia juga berharap agar organisasi Persis menggarap perekonomian umat. “Persis perlu berpartisipasi bagi terwujudnya kejayaan ekonomi bangsa,” ujar Djamil. Mukernas organisasi yang lahir tahun 1923 ini berlangsung hingga 2 Desember 2012.

Ketua Umum Persis Maman Abdurrahman mengungkapkan, Persis selama ini fokus pada kegiatan pendidikan dan dakwah. Persis memiliki 19 pengurus wilayah se-Indonesia yang mewadahi 253 pesantren di seluruh Nusantara.

Dalam kesempatan itu Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menyatakan, orientasi kerja seorang pemimpin adalah membangun peradaban.

“Visi-misi pemimpin di semua tingkatan, mulai dari presiden sampai RT, jangkauannya jauh ke depan. Pemimpin tidak memikirkan bagaimana beberapa tahun ke depan saja karena mereka sebenarnya harus membangun peradaban,” kata Heryawan di depan ratusan peserta Mukernas.

Heryawan menambahkan, peradaban tidak cuma dibangun dengan pendekatan ekonomi. Namun, juga berorientasi pada pembentukan dan pengembangan karakter bangsa. Karenanya, Heryawan menegaskan, penerapan nilai-nilai luhur dalam kerja kepemimpinan di tataran pemerintahan dan kemasyaratan tetap wajib menjadi fokus perhatian. “Jadi, mari kita kelola alam semesta ini dengan pendekatan peradaban,” ujar Heryawan.

Sejarah telah mencatat sejumlah negara yang berhasil membangun peradabannya. Negara dimaksud berhasil pula mewujudkan kemajuan ekonomi. Menurut Gubernur Jawa Barat, penerapan nilai luhur justru bakal mewujudkan masyarakat mandiri yang ditopang perekonomian yang kuat.[Az]

Sumber: Lazuardi Birru

Empat Pilar Demokrasi yang Tersisa Hanya Pers







Dari empat pilar demokrasi dalam bernegara, hanya pers saat ini yang tersisa. Karena tiga pilar lainnya, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif telah dirusak oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Wacana tersebut diungkapkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr Mahfud MD.

Menurut dia, pilar demokrasi yang tersisa saat ini hanya peranan pers. “Itu makanya, peranan pers merupakan pilar keempat demokrasi negara ini. Sementara tiga pilar lainnya telah rusak,” kata Mahfud, seperti dilansir Antara.

Peran pers sebagai pilar ke empat demokrasi, kata Mahfud dapat memberikan tekanan positif terhadap kebijakan pemerintah.  “Salah satunya adalah disaat KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) tengah berada di ujung tanduk, karena peran pers akhirnya KPK tertolong,” katanya.

Dia membandingkan pers sebagai pilar demokrasi dengan  eksekutif, legislatif, dan yudikatif. “Untuk ketiganya selain pers (eksekutif, legislatif dan yudikatif) saat ini sudah entah macam mana. Makanya saya katakan, pilar demokrasi saat ini hanya tinggal peranan pers,” ungkapnya.

Walaupun berada di luar sistem politik formal, lanjut dia, keberadaan pers memiliki posisi strategis dalam informasi massa, pendidikan kepada publik sekaligus menjadi alat kontrol sosial. Karena itu, kata Mahfud, kebebasan pers menjadi salah satu tolak ukur kualitas demokrasi di sebuah negara.[Az]


Sumber: Lazuardi Birru

Separatisme dengan Terorisme Itu Beda!

Pascapenembakan terhadap 3 polisi di Mapolsek Pirime, Kabupaten Lanny Jaya, Papua, pekan lalu, sebagian kecil kalangan memertanyakan sikap polisi yang tidak menyebut pelaku sebagai kelompok teroris. Padahal aksi yang diduga kuat dilakukan oleh kelompok separatis itu sama dengan pembunuhan polisi di Solo dan Poso, September dan Oktober 2012.

“BNPT dan kepolisian sangat hipokrit dengan tidak menyebut pembunuh tiga polisi tersebut sebagai teroris. Kalau konsisten, harusnya para penyerang dengan motif etnonasionalisme dan separatisme adalah tindakan terorisme,” kata Harits Abu Ulya, Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) seperti dilansir laman Indonesia Today, Kamis (29/11/2012).

Haris beralasan, pelaku merupakan anggota dari organisasi yang memiliki visi politik dan melakukan aksi teror untuk memengaruhi iklim politik keamanan dan kedaulatan Negara.
Pendapat itu dibantah oleh peneliti radikalisme, Najib Azka, Ph.D, lantaran tidak membedakan motif aksi teroris yang dilakukan oleh kelompok radikal di Indonesia dengan motif tindak kekerasan bersenjata oleh kelompok separatis.

“Terorisme yang terjadi selama ini ditujukan kepada kelompok sipil. Sementara kekerasan yang dilakukan oleh kelompok separatis menyasar kepada aparat pertahanan Negara yaitu TNI. Hal itu untuk menunjukkan perlawanan mereka kepada Negara yang ia anggap sebagai penjajah di wilayahnya,” ujar pengajar FISIP Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu kepada Lazuardi Birru.

Ia mengakui, dalam beberapa kasus mutakhir kelompok separatis seperti Organisasi Papua Merdeka dan Republik Maluku Selatan (RMS) juga mengadopsi strategi kelompok teroris yang menyasar sipil, termasuk kepada polisi.

“Polisi itu kan sipil bersenjata yang bukan angkatan perang. Namun strategi itu diadopsi oleh oleh kelompok separatis untuk melemahkan moral dan strategi Negara sebagai musuhnya,” terangnya.
Dalam perspektif separatis, lanjut Najib, aksi teror adalah perpanjangan strategi untuk mencapai tujuan pemisahan dari teritorial Negara tertentu, bukan bagian inheren dalam kontruksi ideologinya. Sementara dari sekian aksi terorisme di Indonesia, motif mereka adalah balas dendam dan perlawanan terhadap Barat, bukan pendirian Negara Islam.

M. Wildan, Ph.D, peneliti radikalisme UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mengakui bahwa perbedaan separatisme dengan terorisme amat tipis. “Aksi kekerasan yang dilakukan oleh teroris dilandasi ideologi keagamaan, sedangkan separatisme didasari oleh semangat etnonasionalisme,” ungkapnya kepada Lazuardi Birru.

Ia menjelaskan, kasus OPM dan RMS, walaupun ada sedikit muatan perbedaan agama, namun tidak ada kaitan dengan ideologi agama tertentu. Pasalnya diketahui beberapa aktivis OPM juga beragama Islam.
Jika berkaca pada aksi-aksi teror yang dilakukan oleh aktivis Darul Islam di era Orde Baru, seperti yang dilakukan oleh kelompok yang populer disebut Komando Jihad, di mana tujuan jangka panjangnya adalah menegakkan Negara Islam, saat itu mereka dijerat dengan UU subversif dan KUH Pidana umum, lantaran belum ada UU Terorisme. Jika UU Terorisme sudah ada, bisa saja mereka dijerat lantaran target aksinya adalah masyarakat sipil. (fiQ)


Sumber: Lazuardi Birru