Kamis, 29 November 2012

Forum Perdamaian Dunia Konsolidasikan Demokrasi Multikultural




Pimpinan Pusat Muhammadiyah kali keempatnya akan menggelar gelaran Internasional yakni World Peace Forum IV (WPF) yang akan digelar selama empat hari, 23-26 November 2012. Rencananya, WPF-4 bakal dilaksanakan di Hotel Novotel Bogor, Jawa Barat. Acara ini akan dihadiri 50 tokoh dunia dari 21 negara. Serta direncanakan pula Presiden RI Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono akan memberikan pidato pada acara puncak.

WPF 4 sendiri diselenggarakan oleh Muhammadiyah yang bekerja sama dengan Cheng Ho Multi Culture Trust and Centre For Dialog and Corporation among Civilitation (CDC). Acara ini bertema Consolidating Multicultural Democracy.
Forum Internasional dua tahunan ini pertama kali digelar di Jakarta pada 14-16 Agustus 2006 dengan tema One Humanity, One Destiny, One Responsibility. Sesuai dengan rekomendasi WPF-1, One Humanity, One Destiny, One Responsibility dijadikan sebagai tema tetap WPF.

Tujuan dari ajang ini digelar adalah mengembangkan dialog terbuka masalah identitas, multikulturalisme, dan demokrasi dari berbagai kalangan. Selain itu forum ini juga akan merumuskan pengejawantahan konsep One Humanity, One Destiny, One Responsibility sebagai filosofi dasar multikulturalisme.

“WPF-4 2012 kali ini menekankan pada pentingnya konsolidasi demokrasi multikultural,” ujar Din.
Dari 150 tokoh yang jadwalkan bakal hadir, sebanyak 48 tokoh dari 21 negara akan dipastikan mengikuti. Even ini, kata Din, mampu mempertemukan tokoh-tokoh dari berbagai kalangan. Sehingga level pertemuan sebagai wadah lintas perdamaian dengan pola pendekatan dari sisi pemegang kebijakan, rohaniwan, pebisnis, hingga media. [Mh]

Sumber: Lazuardi Birru

Indonesia Beresiko Kehilangan Keragaman Budaya dan Toleransi



Kepala Komisi Tinggi HAM PBB Navi Pillay mengingatkan bahwa Indonesia beresiko kehilangan keragaman budaya dan toleransi, jika tindakan keras tidak diambil untuk mengatasi meningkatnya angka kekerasan dan kebencian terhadap kelompok minoritas serta pandangan yang sempit dan interperetasi ekstrim. Hal ini disampaikan Navi kepada para pewarta di Jakarta yang akan bertemu dengan sejumlah korban kekerasan yang terjadi di Indonesia pertengahan pekan ini.

Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama, namun kelompok pembela hak asasi manusia mengatakan bahwa kekerasan atas kelompok minoritas telah meluas sejak tahun 2008 di negara berpenduduk 240 juta, yang hampir 90 persennya adalah pemeluk Islam yang mayoritas adalah Sunni. Pillay merekomendasikan Indonesia agar mencabut hukum tentang penodaan agama atau blasphemy tahun 1965.

Tidak hanya itu Pillay juga mengungkapkan keprihatinannya atas pelaksanaan Hukum Syariat di Aceh, di mana hukum cambuk dan rajam disahkan sejak tahun 2009, sambil mengatakan bahwa penegakan hukum itu dilakukan sewenang-wenang dan diskriminatif terutama terhadap perempuan, dan telah menciptakan suasana intimidasi dan ketakutan. [Mh]



Sumber: Lazuardibirru

Pemimpin Harus Berwatak Pluralis


Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan (F-PDIP) Maruarar Sirait (Arar) berharap agar pemimpin masa depan Indonesia berasal dari tokoh yang menghargai keberagaman. Menurut sejarah, kata Arar, seorang pemimpin yang berhasil adalah sosok yang mampu berpikir dan berbuat di tengah keberagaman.

“Kepemimpinan dan figur sangat penting dalam membangun tatanan sosial di tengah keberagaman masyarakat. Kita perlu pemimpin yang punya kemampuan mentransformasi dirinya dari seorang politisi menjadi seorang negarawan,” kata Arat dalam keterangan persnya di Jakarta, Jumat (23/11).

Guna meraih pemimpin yang demikian, Arar mengaku telah menyampaikan hal itu saat berbicara mewakili delegasi Indonesia dalam “Interfaith Dialog,” sebuah dialog antar-agama yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, beberapa saat lalu.

Pada dialog tersebut, Arar mengatakan bahwa dalam kasus radikalisme, terlihat bahwa para pemimpin hanya memikirkan agama dan kelompoknya semata. Karena itu, lanjutnya, perlu dirancang sebuah sistem untuk melahirkan pemimpin yang tidak sekadar mementingkan suku dan agamanya saja.

“Saya pribadi misalnya, mengusulkan bagaimana anggota DPR di Indonesia jangan hanya mewakili daerah pemilihan tempat kelahirannya saja. Jadi, dia bisa dibentuk tidak hanya mencintai sukunya, tetapi juga tempat lain. Kita mencari orang yang mampu berpikir dan bertindak universal,” tandasnya. (sq)

Sumber: Lazuardibirru