Jumat, 30 November 2012

Sarlito: Kondisi Kejiwaan Teroris Normal




Pasca reformasi negeri ini telah beberapa kali diguncang bom terorisme. Sejumlah bom meledak dengan aksi bom bunuh diri. Misalnya ledakan bom terorisme di Paddy’s CafĂ© dan Sari Club kawasan Legian, Kuta, Bali pada 12 Oktober 2002 silam. Lalu ledakan bom di Masjid Polres Kota Cirebon pada 15 April 2011 yang dilakukan Muhammad Syarif. Kemudian ledakan di Gereja Bethel Injil Sepenuh Kepunton (GBIS Kepunton), Solo, Jawa Tengah, pada 25 September 2011 yang dilakukan Ahmad Yosepa Hayat alias Hayat.

Menurut Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia, aksi bom bunuh diri dilakukan secara sadar. Kondisi kejiwaan pelakunya tak terganggu. Seseorang melakukan aksi tersebut karena ideology yang dianutnya mengajarkan demikian.

“Mereka yang terlibat aksi bom bunuh diri adalah orang yang punya pemikiran radikal. Mereka berpikiran salah satu cara untuk mencapai tujuan Islam adalah dengan mati syahid. Mereka di doktrin jika mati berjihad akan syahid dan masuk surga serta mendapatkan bidadari surga,” kata Sarlito ketika ditemui di kediamannya komplek dosen Universitas Indonesia, Ciputat, Tangerang Selatan.

Motivasi dan kepercayaan mati syahid dan memperoleh surga, lanjut Sarlito, begitu kuat tertanam dalam diri pelaku bom bunuh diri. Menurut Sarlito, beberapa pelaku aksi terorisme yang tertangkap mengaku menyesal ketika mengetahui korban dari perbuatannya adalah sesama muslim. Lalu bagaimana pandangan Sarlito terhadap radikalisme dan terorisme di Tanah Air. Berikut petikannya:

Bagaimana pandangan Anda tentang fenomena terorisme di Indonesia?
Terorisme sudah ada sejak masa kemerdekaan, terutama terorisme yang terkait Islam, misalnya ketika Kartosuwiryo memproklamirkan Negara Islam Indonesia. Jadi Jamaah Islamiyah tak berdiri sendiri, setelah JI bisa dikendalikan para tokohnya ada yang ditangkap dan mati, maka timbul radikalisme baru seperti yang dilakukan Muhammad Syarif di Masjid Mapolresta Cirebon. Mumammad Syarif dan pelaku lainnya adalah wajah baru terorisme. Radikalisme akan terus berjalan. Apa yang dilakukan pemerintah melalui Densus 88 hanya menghentikan gejalanya saja dari waktu ke waktu tapi akar radikalismenya belum terpecahkan. Bila akar dasarnya tak terpecahkan radikalisme akan terus bergulir di tengah bangsa ini.

Menurut Anda sendiri apa itu terorisme?
Terorisme adalah suatu aksi yang menimbulkan korban atau ketakutan. Misalnya perilaku mengancam sebuah gedung dengan bom lalu masyarakat panik maka itu disebut terorisme. Sasaran terorisme tidak terkait dengan tujuan terorisme, seperti ketika Bom Bali yang menjadi sasaran korban, tak ada urusannya dengan politik pelaku terorisme. Biasanya di balik aksi teror ada misi politik seperti negara islam, sosialisme, komunisme atau lainnya.

Aksi terorisme beberapa kali dilakukan melalui bom bunuh diri. Apa pendapat Anda?
Aksi bom bunuh diri memang berbahaya tapi itu bagian kecil dari gerakan radikalisme. Ada dua kategori seseorang terlibat terorisme yaitu; pertama mereka yang betul-betul mempunyai ideologi radikal seperti Imam Samudera dkk, sedangkan kedua mereka terlibat karena misalnya rumahnya dititipi/menginapkan orang yang ternyata dia adalah seorang teroris. Sasaran terorisme untuk menarik perhatian meski yang menjadi korbannya adalah muslim sendiri. Pelaku merasa menyesal ketika menemukan yang menjadi korban akibat aksinya adalah seorang muslim.

Secara psikologis mengapa seseorang berani melakukan aksi bom bunuh diri?
Tak semua teroris melakukan aksi bom bunuh diri, seperti Imam Samudera dan Osama bin Laden. Mereka yang terlibat aksi bom bunuh diri adalah orang yang punya pemikiran radikal. Mereka berpikiran salah satu cara untuk mencapai tujuan Islam dengan mati syahid. Mereka di doktrin jika mati berjihad akan syahid dan masuk surga serta mendapatkan bidadari surga. Doktrinnya tak ada yang lain bahwa selain Islam maka yang lain salah.

Apakah kondisi psikologi mereka terganggu?
Tidak. Mereka melakukan bom bunuh diri karena ideologinya mengajarkan seperti itu. Mereka berbuat aksi serangan bom secara sadar dan rasionya berjalan. Namun rasio mereka menuju arah yang lain. Misalnya ketika ada muslim antara yang radikal dan moderat, keduanya merasa dirinya yang benar. Mereka punya dasar masing-masing atas kebenarannya.

Mengapa ideologi mereka kuat?
Motivasi mereka kuat layaknya orang yang ingin mudik lebaran, rela berjuang menerabas macet dan lainnya hanya untuk dapat berlebaran di kampung halaman. Mereka berani melakukan aksi bom karena panggilan. Bagi mereka jihad bom bunuh diri adalah membela agama.

Sepengetahuan Anda bagaimana motivasi mereka?
Sejak tahun 2004 hingga sekarang, saya bergaul dengan banyak pelaku teroris. Saya kenal mereka satu per satu seperti Abu Rusydan, Zarkasi, Abu Dujannah, Ali Imron dan lainnya. Saya sering berkomunikasi dengan mereka hampir setiap hari. Mereka percaya diri berbuat terorisme karena percaya akan masuk surga. Bila percaya akan masuk surga maka lakukanlah jihad yang seperti itu.

Sepengetahuan Anda apakah pelaku terorisme merasa menyesal atas perbuatannya?
Ada tapi tak semua teroris merasa menyesal dan bersalah. Namun sebagian besar mereka menyesali perbuatannya. Misalnya ketika mereka mengetahui bahwa saat merampok bank dulu ternyata uang hasil rampokan tidak digunakan untuk perjuangan di Ambon tapi untuk serangan Bom Bali maka pelakunya menyesal telah merampok bank.

Mantan napi teroris apakah bisa kembali menjalani hidup normal seperti masyarakat biasa?
Sebagian besar mereka yang sudah keluar dapat hidup normal kembali kayak dulu, kini di antara mereka ada yang menjadi penjual ayam, usaha sapi, dan pedagang kecil. Setelah keluar dari penjara mereka tak lagi mengurusi terorisme tapi bekerja tiap hari untuk keluarga dan anaknya. Mereka memikirkan anak dan istrinya seperti kita ini.
******
Sarlito menilai upaya pemerintah dalam menangani terorisme belum maksimal. Namun kinerja Densus 88 dalam menghadapi ancaman terorisme sudah efektif. Hingga saat ini Densus 88 telah menangkap ratusan pelaku terorisme di Indonesia. Pada awalnya, kata dia, Densus 88 mempunyai program bila tersangka teroris tertangkap maka keluarganya disantuni seperti anaknya disekolahkan dan istrinya dikasih modal usaha. Upaya tersebut bertujuan membuat tersangka menjadi jinak.

Ia mengatakan saat ini radikalisme sudah masuk ke dunia pendidikan. Hal ini karena Kemenag tak melakukan pengendalian dan mengontrol para guru agama dan proses pengajaran pendidikan agama di sekolah.  “Menurut penelitian Bambang Pranowo bahwa 47 persen siswa sekolah umum tingkat pertama dan atas di Jabodetabek menyatakan sudah siap untuk ikut berjihad. Ini potensi yang sangat mencemaskan. Bahkan mimbar khutbah Jumat juga khatibnya sering kali mengatakan ajaran radikal. Pemerintah belum ada usaha ke arah sana padahal itu ancaman,” tegasnya.

Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah?
Hasil-hasil penelitian lembaga harus diadopsi menjadi sebuah strategi nasional. Ini menjadi pekerjaan BNPT tapi sayang umurny masih pendek dan personilnya banyak yang baru sehingga belum nyambung karena mereka masih pada tataran teori. Mungkin butuh waktu tapi harus lebih cepat karena kita sekarang lagi kejar-kejaran dengan proses radikalisasi di masyarakat.

Mengapa terorisme menjadikan anak muda sebagai sasarannya?
Generasi muda tak hanya menjadi sasaran terorisme tapi bisa menjadi sasaran apa saja seperti kasus narkotika dan seks bebas. Hal itu karena anak muda sedang mencari identitas atau jati diri dan usia remaja sangat mudah untuk dipengaruhi.

Belakangan ini aksi terorisme makin muncul permukaan. Menurut Anda mengapa demikian?
Kita kadang sering melakukan pukul rata, padahal harus diingat dari tahun 2004-2009 tak ada aksi teror. Selama lima tahun teroris menghentikan aksinya karena polisi mampu mengontrol jaringan terorisme, dan jaringan teroris saat itu terbatas hanya JI. Mereka adalah eks Afganistan, Filipina, Malaysia, Poso, dan Ambon. Pasca tahun 2009 lalu terjadi teror bom di hotel JW Marriot. Aksi tersebut adalah wajah baru terorisme seperti Ibrahim dan Syaifuddin. Terorisme telah melebar karena muncul wajah baru dan ini berbahaya. Polisi kini mendapatkan tugas baru. Tugas pembinaan/pencegahan bukan menjadi tanggung jawab polisi melainkan Kemenag, Kemendikbud, dan Kemensos.

Pelaku terorisme sekarang adalah wajah baru, apakah mereka satu jaringan dengan terorisme dulu?
Tidak. Sejak masa Kartosuwiryo hingga saat ini jaringannya ganti-ganti. Misalnya JI sekarang tak ada hubungannya dengan kelompok Imran yang pada tahun 80an membajak pesawat garuda. Jaringan pelaku terorisme tak sama namun ideologinya sama. Ideologi mereka harus diperangi, karena itu pemerintah harus mengembalikan dan menjadikan Pancasila sebagai asas negara. Sebab sejak reformasi Pancasila dianggap jelek. Masyarakat tak ada pegangan maka timbullah radikalisme sehingga beberapa pesantren mengajarkan tak boleh hormat kepada bendera karena menyembah berhala. Ajaran seperti itu tak benar, dan pemerintah harus kembali menggalakan Pancasila. Yang aneh ialah ada anggota DPR yang tak hafal Pancasila dan lagu Indonesia Raya, itu terlihat dalam salah satu tayangan di televisi. Begitu rendahnya kualitas penghayatan dan pengamalan Pancasila.

Mengapa aksi terorisme di Indonesia mengalami pasang surut?
Sebab kontrol polisi masih lemah. Alqaedah masih kuat dan dana dari Osama bin Laden masih ada. Ketika Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Basyir hijrah ke Malaysia, mereka mencari dana ke Timur Tengah lalu ketemu Osama dan mendapatkan banyak dana untuk merekrut pemuda Indonesia untuk sekolah di Akademi Militer Afganistan. Tetapi sekarang dana tersebut sudah habis dan diblokir
.
Bagaimana langkah preventif agar radikalisme dan terorisme tak berkembang biak?
Itu tugas Kemenag dan Kemendikbud. Mereka harus lakukan kontrol kurikulum di lapangan mulai dari TK hingga SMA, aktifitas rohis, mushala dan masjid di sekolah dan kampus. Perlu diketahui siapa yang menguasai itu semua.  Selama ini pendidikan agama masih tak terkontrol sehingga ruang radikal mudah masuk ke sekolah. Saat ini banyak ideologi radikal telah masuk ke sekolah. Salah satu ciri kelompok radikal yaitu adanya bai’at. Ketika dibai’at harus setia pada pimpinan.

Apakah perlu tindakan represif dari pemerintah sebagai langkah curative?
Tindakan represif bukan untuk membuat jera pelaku tapi untuk penegakkan hukum. Konsep tindakan membuat jera itu keliru, seperti obat saja supaya imun. Hukuman itu bukan untuk membuat jera melainkan memenuhi undang-undang. Untuk membuat jera ada proses reedukasi dan pembinaan, bukan melalui hukuman. Pemerintah belum lakukan pembinaan dan pendidikan. Meski reedukasi belum berjalan tapi jangan dibuat jera dengan hukuman, itu keliru.

Menurut Anda lembaga negara apa saja yang efektif menangani terorisme?
Kemenag, Kemendikbud, Kemensos, dan Kemendagri. Tetapi sekarang yang terlibat aktif adalah Kemenlu, yaitu melibatkan negara-negara ASEAN untuk melakukan penelitian melawan terorisme di negara masing-masing. Saya dengan beberapa teman terlibat di sana, tapi dari kementerian lain belum terlihat.

Apakah perlu keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme?
Selama ini TNI telah dilibatkan hanya yang dijadikan wacana seakan-akan terorisme menjadi pekerjaan TNI. Padahal sepanjang terorisme terkait keamanan dalam negeri maka menjadi pekerjaan polisi. Ketika ada pengejaran maka polisi bisa meminta bantuan TNI.

Saat ini pemerintah telah memiliki UU Antiterorisme untuk menjerat pelaku terorisme, menurut Anda apakah UU tersebut sudah efektif?
Meski saya tak paham perundang-undangan tapi UU tersebut perlu direvisi. Kemenhukham sedang mencoba merevisi UU atau mungkin ada penambahan pasal baru.

Napi teroris memiliki tingkat keberbahayaan tinggi daripada napi lainnya, apakah perlu LP khusus untuk mereka?
Tahanan teroris harus dipisah jangan dicampur dengan napi sesama teroris. Bila perlu tahahan teroris ditaruh di lapas yang jauh. Mereka perlu dipisah karena bila berkumpul maka akan semakin ekstrim-ekstriman, apalagi bila pemimpinnya bicara maka yang lain tak berani menolak. Ketika bicara empat mata mereka jauh lebih lunak, bisa bicara kehidupan sehari-hari, kesantunan dan lainnya. Jadi pendekatannya harus personal agar mereka lebih rileks.

Apakah Indonesia perlu menerapkan kebijakan seperti Malaysia melalui ISA?
Kita di sini perlindungan terhadap HAM tinggi, sementara kalau menerapkan ISA orang bisa ditangkap begitu saja seperti ketika rezim Orde Baru. Di sini bila mau menangkap/menghukum seseorang harus melalui proses pengadilan. Ini salah satu penyebab kesulitan menangkap orang yang dianggap berbahaya. Misalnya Abu Bakar Basyir mesti telah dianggap berbahaya dari dulu tapi karena buktinya belum cukup sehingga baru ditahan belum lama ini. Kita menghargai HAM.

Tindakan preventif perlu melibatkan masyarakat sipil seperti NU dan Muhammadiyah. Bagaimana Anda melihat peran mereka dalam penanganan terorisme?
Mereka sudah banyak terlibat. Keterlibatan mereka di masyarakat sebagai buffering karena teroris tak mungkin bisa masuk ke dalam massa mereka. Sebab mereka punya tradisi yang sudah mengakar lama. Anggota NU dan Muhammadiyah punya ideologi yang turun temurun untuk menangkal aliran radikal. Aliran Sunni di Indonesia yang telah turun temurun harus dijaga supaya bisa menangkal aliran salafi/radikal. Aliran radikal meski kecil tapi bila tak dijaga maka akan berkembang.

Mengapa gerakan radikal/teroris terus bergerak?
Mereka sudah ada sejak dulu. Mereka menghendaki asas negara ini berdasarkan syariat islam. Sampai saat ini mereka masih hidup dan tak pernah mati. Dulu mereka tak muncul ke permukaan karena dikontrol oleh pemerintah tapi saat ini ruang kebebasan terbuka sehingga mereka kerap muncul ke permukaan.

Pendidikan dinilai sebagai salah satu institusi efektif cegah penyebaran virus tersebut. Menurut Anda bagaimana kebijakan pendidikan dalam mencegah terorisme?
Pendidikan dari TK hingga perguruan tinggi harus berperan mencegah radikal agar tak berkembang. Nilai-nilai kebangsaan harus diajarkan sejak dini. Penerapan nilai kebangsaan harus modern jangan seperti jaman dulu yang menerapkan BP7 dan P4. Tak perlu ada kurikulum khusus untuk cegah teroris karena hanya akan menambah beban siswa. Agama diajarkan di sekolah tak banyak pengaruhnya dalam pencegahan kejahatan korupsi dan lainnya. Yang terpenting bagaimana kita mempraktikan ajaran agama yang menjungjung nilai-nilai kedamaian, antikekerasan, dan ramah tamah. Nilai-nilai tersebut harus dimunculkan dalam masyarakat.

Apa closing statement Anda?
Tindakan terorisme itu bukan karena kelainan jiwa, mereka orang normal yang kemudian menjadi radikal. Program pembangunan, pendidikan, dan pemahaman agama tidak mendukung ke pencegahan radikalisme. Pemerintah harus menggunakan hasil-hasil penelitian untuk dijadikan kebijakan/strategi nasional. Ini harus segara dilakukan melalui BNPT.[Akhwani]


Biodata:
Nama Lengkap                        : Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono
Tempat, Tanggal Lahir           : Purwokerto, 2 Februari 1944
Pekerjaan                                : Guru Besar Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Pendidikan                              : S3 Universitas Indonesia

(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)

SumberLazuardi Birru

Empat Pilar Bisa Jadikan Negara Kuat


 Empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara akan menjadikan negara menjadi kuat. Dalam konsep Nabi Muhammad SAW, empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara adalah para pemimpin yang adil, para ulama yang menyamaikan ilmunya, para orang mampu yang dermawan, serta doanya orang-orang miskin.

Hal itu dikatakan mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Endriartono Sutarto ketika menyampaikan sambutan pada peringatan tahun baru Islam, 1 Muharram 1434 hijriyah, di Alun-alun Jayabakti Kecamatan Cisompet, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Sabtu (24/11/2012).

“Dalam sebuah hadits, Rasullah SAW berkata bahwa ada empat pilar yang menguatkan negara,” katanya.
Endriartono mengimbau masyarakat agar dapat memilih memimpin yang adil dan amanah, mulai dari pemimpin di tingkat yang paling tinggi hingga ke tingkat yang paling rendah. Sebab berdasarkan perkataan Nabi bahwa jika para pemimpin sudah berperilaku tidak adil dan tidak amanah, maka negara dan bangsa tersebut secara perlahan-lahan akan mengalami kehancuran.

“Salah satu upaya untuk dalam memilih pemimpin yang adil dan amanah adalah dengan berdoa dan beristikharah kepada Allah SWT,” katanya.

Pilar kedua, adalah para ulama yang menyampaikan ilmunya. Menurut dia para ulama agar dikembalikan fungsinya sebagai pemimpin dalam mencetak kesalehan sosial. Perhatian pemerintah terhadap pondok pesantren, madrasah diniyah, dan lembaga agama lainnya belum maksimal.

Pilar ketiga, adalah para orang mampu yang dermawan. Ia mengatakan munculnya kesenjangan sosial yang memicu konflik horzintal di tengah masyarakat, karena orang mampu tidak memiliki kepedulian terhadap fakir miskin dan anak yatim-piatu.

“Kesenjangan sosial selain memicu konflik horizontal juga menimbulkan persoalan sosial lainnya seperti, perjudian, pencurian, penjualan manusia, dan sebagainya,” ujarnya.
Pilar keempat adalah doanya orang-orang miskin. Ia berharap orang-orang miskin terus berdoa agar bangsa Indonesia diberikan pemimpin yang adil dan amanah, sehingga bisa membawa negara dan bangsa Indonesia menjadi kuat dan sejahtera.[wan]

Sumber: Lazuardi Birru

Pemimpin Agama Kurang Promosikan Nilai-Nilai Kemanusiaan





Radikalisme agama yang hingga saat ini masih bertebaran di mana-mana bukanlah bersumber dari faktor tunggal semata. Ada banyak hal yang bisa dijadikan sebagai causafenomena ini. Salah satunya menurut guru besar dan dosen UIN Jakarta, Dr. Musdah Mulia, adalah lantaran para pemimpin agama seringkali kehilangan niat untuk mempromosikan kemanusiaan.

Di Indonesia, seringkali para pemimpin agama memprimasikan aspek formal agama semata seperti berapa kali sembahyang, apa yang dipakai orang tersebut, apa yang dimakannya. “Hal-hal privat semacam itu yang menjadi urusan para pemimpin agama, sementara yang lebih penting (yaitu kemanusiaan) justru diabaikan” tutur Ibu Musdah Mulia.

Guru besar sekaligus dosen UIN Jakarta ini juga menambahkan jika hal itu terus berlanjut tidak menutup kemungkinan klaim agama sebagai penjaga perdamaian dapat dipertanyakan.

Dalam kondisi yang sudah sedemikian kompleks seperti sekarang ini, Musdah Mulia mengajak agar para pemimpin agama melakukan reinterpretasi atas ajaran-ajaran yang ada. Ia percaya bahwa agama itu sendiri sebenarnya tidak statis. Selalu ada interpretasi yang berbeda, sesuai dengan sikon agama tersebut. Dan justru dengan reinterpretasi itulah kebermaknaan agama bagi manusia tidak akan lrnyap ditelan zaman. [Mh]

Sumber: Lazuardi Birru

Indonesia Bisa Beri Dukungan Kemanusiaan dan Politik




Israel kembali melakukan serangan militer besar-besaran di Jalur Gaza. Serangan tersebut mengakibatkan puluhan warga Palestina meninggal dunia, ratusan lainnya mengalami luka-luka dan ratusan rumah serta bangunan hancur.
Pengamat politik Timur Tengah Hasibullah Satrawi mengatakan konflik Israel-Palestina adalah tantangan bagi tatanan perdamaian dan kemanusiaan. Karena itu, diharapkan negara-negara di dunia termasuk Indonesia bisa memberikan bantuan kemanusiaan dan perdamaian.

“Tapi agak berat kita bisa memberikan peran yang lebih maksimal karena konflik ini sudah melibatkan kekuatan global. Indonesia tak bisa berbuat banyak, misalnya agar Palestina merdeka karena ini sudah terlanjur melibatkan banyak negara,” ujarnya dalam roundtable discussion  bertajuk Siklus Kekerasan di Gaza; Mengapa Terjadi dan Apa Kontribusi Indonesia, di FISIP Universitas Indonesia, Depok, Jumat (23/11/2012).

Menurut dia Indonesia bisa memberikan peran yang terukur dengan mengirimkan bantuan seperti membangun rumah sakit di Palestina. Selain itu, perlu adanya kajian yang berkesinambungan tentang politik Timur Tengah khususnya jalur Gaza dan Israel. Informasi tersebut untuk menjelaskan kepada masyarakat bahwa yang terjadi di Timur Tengah bukan konflik agama.

“Konflik Israel-Palestina dianggap oleh masyarakat kita sebagai konflik agama, antara Islam dan nonmuslim. Ini menunjukan bahwa konflik Palestina belum dipahami sebagai konflk politik,” tandasnya.
Hasibullah meminta pendekatan yang digunakan untuk mendukung Palestina jangan justru membuat kekuatan global mengurangi dukungannya terhadap Palestina. Menurutnya perspektif yang harus digunakan adalah kemanusiaan dan kebangsaan.

Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Trias Kuncahyono mengatakan, Indonesia tak perlu mengirimkan orang untuk berperang ke sana. Menurutnya, Indonesia bisa berperan dengan memberikan dukungan politik atau kemanusiaan.

“Dukungan Indonesia sebagai negara muslim terbesar sangat diharapkan. Sekedar ngomong saja Indonesia perlu untuk di mata Timur Tengah dan dunia,” ujarnya.

Zainuddin Djafar, pengajar tetap FISIP menambahkan ada banyak cara untuk Indonesia bisa memainkan perannya. Misalnya, mengirimkan utusan khusus ke Presiden Mesir Mursyi atau Presiden Amerika Serikat Barack Obama agar menghentikan konflik tersebut.

“Kita memang perlu membuat konsep yang jelas untuk berkontribusi dalam perdamaian dunia,” ucapnya.[wan]

Sumber: Lazuardi Birru

Pengelolaan Keragaman Indonesia Harus Tepat



Pakar konflik dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Mohammad Nur Kholis Setiawan mengatakan pengelolaan keragaman budaya dan agama di Indonesia perlu dilakukan dengan dasar konsep yang tepat. Ia menilai konsep pengelolaan keragaman yang tepat membutuhkan pemetaan komprehensif termasuk pada keragaman yang muncul akibat modernisasi.

Menurut Kholis pemetaan itu harus didasarkan pada perspektif yang menilai Indonesia merupakan lahan subur pertemuan berbagai peradaban besar dunia. Pertemuan berbagai peradaban besar ini mendapat dukungan penuh setelah beragam jenis agama besar dunia juga ikut masuk ke Indonesia.

“Tingkat keragaman budaya Indonesia merupakan tertinggi di dunia,” kata Kholis saat menyampaikan pidato pengukuhan guru besarnya bertema ‘Tafsir Al-quran dalam Konteks Keindonesiaan dengan Pola Pendekatan Tematik Kombinatif’ di  UIN Sunan Kalijaga, Selasa (20/11/2012).

Dia menilai kondisi keberagaman yang terbentuk dalam proses sejarah panjang itu menjadi peluang besar banyak pihak yang ingin memunculkan konflik sosial tajam di Indonesia. Namun, apabila keragaman itu terkelola dengan baik, akan menghasilkan peradaban kebudayaan tinggi.

“Sejarah sudah membuktikan masyarakat Indonesia bisa hidup berdampingan dalam situasi keberagaman budaya yang tinggi sejak lama, ini menjadi modal yang baik,” kata dia.
Kholis menegaskan keragaman merupakan Sunnatullah. Karena itu, kebersamaan merupakan bagian usaha untuk untuk merawat anugrah yang maha kuasa ini. “Selama sejarah manusia, keragaman bisa jadi sarana saling tukar jasa keahlian dan pemikiran,” ungkap dia

Dia menambahkan keragaman Sunnatullah sudah mendapat legitimasi dari Al-quran. Makanya, umat Islam harus memperhatikan prinsip itu untuk menciptakan kohesifitas yang menjadi dasar pengelolaan keragaman.
“Kita mesti memikirkan upaya pengelolaan keragaman berbasis nilai-nilai keislaman demi masa depan generasi bangsa mendatang,” kata Kholis.

SumberLazuardi Birru

Kamis, 29 November 2012

Noor Huda Ismail: Faktor Sosial Dulu, Ideologi Kemudian


Sosok satu ini pernah bergabung dengan Darul Islam (DI), embrio Jamaah Islamiyah (JI) ketika masih remaja 17 tahun. Ia merasa jengah dengan kebijakan rezim orde baru yang represif sehingga memilih DI sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi sosial politiknya.

Adalah Noor Huda Ismail, penulis buku “Temanku, Teroris?” dan peraih gelar master bidang International Security dari St. Andrews University Skotlandia (2005-2006). Oleh media massa kini ia dijuluki sebagai pengamat terorisme.
“Aku bergabung dengan DI karena kecewa berat saat menyaksikan ayahku hampir dipecat dari pegawai negeri sipil (PNS) hanya lantaran tidak memilih Golkar setiap kali Pemilu. Di sisi lain, ibuku tidak diperbolehkan memakai jilbab ketika bekerja,” ungkapnya dalam perbincangan dengan Lazuardi Birru beberapa waktu lalu.

Kenyataan yang mengemuka dari kedua sosok terdekatnya yang berstatus PNS itu masih ditimpuki lagi oleh peristiwa Tanjung Priok Jakarta pada awal dasawarsa 1980-an. Kala itu, pasukan TNI Angkatan Darat menyerbu warga muslim hingga menewaskan puluhan orang.

Fakta-fakta sosial itulah yang mendorong Huda menjadi aktivis DI, salah satu organisasi terlarang di zaman Orba yang berniat mengubah Indonesia menjadi negara Islam. “Saat itu niatku cuma biar terlihat cool di mata teman-temanku. Remaja belasan tahun tanpa modal apa-apa, tapi ingin ikut mengubah negara,” kelakar Huda perihal alasan bergabung DI.

Berkaca dari mata pengalaman personalnya, Huda berpandangan bahwa motif sosial politik lebih dahulu hadir dalam diri para teroris, dan ideologi, dalam hal ini indoktrinasi teks-teks suci agama, datang kemudian.
Jika Anda menonton film Mata Tertutup karya Garin Nugroho, kesimpulan Huda ini menuai penegasannya. Sosok Jabir yang digambarkan oleh Garin di film itu adalah sosok anak muda yang dikeluarkan dari sekolah lantaran tidak mampu membayar, bapaknya pengangguran, sedangkan ibunya penjual makanan kecil.

Dengan kondisi ekonomi yang memprihatinkan itu, dengan mudahnya Jabir direkrut oleh jaringan teroris untuk menjadi “pengantin” dengan iming-iming kehidupan bahagia di akhirat kelak. Kepalanya terus dijejali argumentasi bahwa negara Indonesia gagal menyejahterakan rakyat lantaran menjalankan sistem kafir.
Dalam suasana santai dan mengalir begitu saja, Lazuardi Birru berbincang dengan Noor Huda Ismail di kantor LSM yang ia dirikan, Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP), di kawasan Tebet Jakarta Selatan. Berikut petikan perbincangan tersebut.

Menurut Anda sejauh mana motif ideologis (agama) memengaruhi seseorang hingga rela menjadi pelaku terorisme? 
Kalau aku melihatnya begini, jika memang ideologi menjadi faktor paling dominan, bagaimana kita misalnya menjelaskan sosok Mahmudi alias Yusuf, anggota Jamaah Islamiyah (JI) yang digerebek polisi di Semarang karena memiliki bahan peledak. Dia asli Jombang Jawa Timur, sekolah di SMA umum, dan berasal dari keluarga pengikut Nahdlatul Ulama (NU).
Ia membaca ayat-ayat jihad dari guru-guru NU yang moderat. Tetapi begitu melihat video pembantaian muslim Bosnia oleh tentara Serbia, batinnya tergerak. Memori itu melekat kuat dalam batinnya. Maka ketika terjadi konflik Ambon dan Poso, ia mencari jalan untuk membantu teman-teman muslim yang dibantai. Jaringannya yang ada saat itu mengajak Mahmudi untuk bergerak  sampai ke Mindanau Filipina.
Secara ideologis, Mahmudi dididik dalam lingkungan moderat, tetapi ketika ada faktor sosial yang menggerakkan maka bangkitlah gairahnya. Nah, sekarang ini saya melihat, orang menjadi radikal karena benci dengan Barat terutama Amerika Serikat.
Maka bagiku, alasan agama (ideologi) itu datang kemudian dan pasti ada alasan sosial yang muncul mendahuluinya. Agama itu dihadirkan untuk menjustifikasi tindakan.

Sebelum lebih jauh, kita bicara soal istilah dulu. Radikalisme dengan terorisme seringkali berkelit-kelindan tidak karuan sehingga seringkali orang mengidentikkan radikalisme dengan terorisme. Menurut Anda apa perbedaan keduanya?
Terorisme ialah penyerangan kepada kelompok sipil yang tidak bersenjata. Itu bisa dilakukan oleh negara maupun aktor di luar Negara. Motivasinya bisa karena agama, nasionalisme, dan etnonasionalisme. Pola serangannya tidak pandang bulu dan yang ditarget adalah warga sipil yang tidak terlibat perang.

Yang perlu dicamkan, jangan mengaitkan terorisme kepada kelompok tertentu, Islam misalnya. Kasus Anders Beihring Breivik di Norwegia, di mana ia mengidap ketakutan pada kelompok Islam hingga kemudian melakukan aksi teror. Di Irlandia Utara, selama 400 tahun kelompok teroris menjadikan Alkitab sebagai justifikasi tindakannya. Di Thailand Selatan 70 pemeluk Budha melakukan pembantaian pada umat Islam atas nama Budha.
Dan kasus bom bunuh diri di dunia itu paling banyak dilakukan oleh kelompok Tamil Tiger yang mayoritas terjadi di india. Artinya kalau kita cuma mengaitkan terorisme dengan Islam atau kelompok tertentu, itu akan salah. Harus dilihat faktor sosialnya dulu, itu yang penting.

Sedangkan radikalisme itu akar katanya adalah radic (akar). Maka definisi radikalisme agama sebenarnya ialah orang-orang yang berusaha mempraktekkan agama seakar-akarnya. Istilah populernya dalam Islam adalah kaffah.
Maka wajar jika program deradikalisasi pemerintah menuai resistensi yang sangat tinggi dari beberapa kalangan. Apalagi kampanye mereka melalui perang tafsir keagamaan.

Artinya radikalisme itu pada level wacana, terorisme pada level praktis?
Ya, saya melihatnya begitu. Maka silakan aja kalau loe mau berpikir radikal, asal tidak diekspresikan dengan cara kekerasan. Soekarno bisa memerdekakan negeri ini karena beliau berpikir radikal. Bahwa Belanda, Jepang, Inggris harus dilawan karena menjajah Indonesia.

Bagaimana Anda memandang gerakan-gerakan berbasis agama yang menghalalkan aksi kekerasan, bahkan terhadap sesama muslim, dengan justifikasi teks suci agama?
Justifikasi kekerasan di dalam Islam itu memang ada. Rasulullah SAW bahkan beberapa kali memimpin peperangan, hadis-hadisnya juga ada. Artinya secara sosial antropologis, penggunaan kekerasan itu memang ada dalam Islam. Tetapi permasalahannya adalah kapan kita diperbolehkan menggunakan kekerasan. Itu soal penafsiran yang beragam.

Ada hadis Nabi yang menyatakan bahwa muslim yang baik adalah jika muslim lain selamat dari lisan dan tangannya. Tetapi ada hadis Nabi pula yang menandaskan bahwa ketika umat Islam diserang maka berbuatlah seperti lebah. Artinya muslim yang baik itu ya berperilakulah secara baik, tetapi ketika diserang ya jangan diam saja.
Menurut saya, Islam memang bukan agama pasifis. Dalam sejarahnya, Islam itu ekspansif. Namun kapan harus menggunakan kekerasan, itu ada persyaratan yang ketat. Hadis tentang amar ma’ruf nahi munkar itu kan jelas, jika kamu melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangan, jika tidak mampu ya dengan lisan.
Sayangnya, beberapa kelompok itu menjadi panitia mlebu swargo (masuk surga) sehingga mengklaim tindakannya paling benar. Seolah mereka yang berhak menentukan kita pantas masuk surga atau neraka. Padahal kita ini cuma berspekulasi terhadap kebenaran. Tidak ada ceritanya orang mati kemudian hidup kembali dan bercerita soal masuk surga atau neraka.

Kalau memang dalam Alquran dan hadis ada doktrin yang menjustifikasi kekerasan, berarti  yang salah itu apakah teksnya atau tafsirnya?
Ya teksnya benar, tidak bohong. Semisal ayat tentang i’dad dalam QS. Al-Anfal: 60 yang sering digunakan oleh kelompok-kelompok jihadis. Ayat itu memang memerintahkan umat Islam melakukan persiapan melawan musuh. Tetapi ayat itu harus dibaca secara teliti; wa a’iddu lahum mastatho’tum min quwwatin… (Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi). Kata quwwat di situ menggunakan isim nakiroh, yang dalam gramatika Arab memuat makna umum atau luas. Artinya kekuatan di situ tidak melulu bermakna fisik.
Tetapi kemudian mereka mereka menggunakan hadis lain yang mengatakan bahwa kekuatan itu adalah dengan memanah. Menurut saya hadis itu juga masih multitafsir.

Maka jika ada kelompok yang berijtihad bahwa jihad di masa kini dengan bom, maka yang salah adalah tafsir-tafsir mereka terhadap doktrin jihad. Kalau seandainya tafsirnya pas, saya kira dalam kelompok yang sama tidak akan terjadi perdebatan ketika berencana melakukan aksi Bom Bali. Nyatanya dalam internal kelompok itu muncul perdebatan yang luar biasa. Di kalangan ulama juga muncul perdebatan.

Kemudian seandainya sang pelaku mati karena berjihad, tentu mereka akan mendapatkan penghargaan baik dunia maupun di akhirat. Nyatanya sekarang para pelaku itu didiskreditkan, diperlakukan sebagai penjahat yang hina oleh masyarakat. Maka pilihan jihad dengan cara demikian (aksi-aksi teror) itu harus ditinjau ulang.
***
Pada 2007, sepulangnya dari studi pascasarjana di Skotlandia, Huda sempat dilanda kebingungan akan karirnya. Apakah hendak meneruskan profesi sebagai wartawan di media massa asing yang cukup prestisius, ataukah bekerja sebagai konsultan, atau hendak terjun dalam dunia aktivisme sosial.

Kata hati dan situasi menuntunnya untuk mendirikan LSM yang concern pada isu peace building dan resolusi konflik dengan target group adalah para mantan kombatan dan eks narapidana teroris. Di situ ia berposisi sebagai Direktur Eksekutif. Kendati demikian profesi sebagai konsultan tidak ia tinggalkan. Nyatanya ia salah satu pemilik perusahaan konsultan komunikasi dan manajemen risiko BostonPrice Asia.

Saya menafsirkan pilihan Huda sebagai panggilan hati jika menilik pengalaman hidupnya. Ia adalah alumni Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki Sukoharjo Jawa Tengah, pesantren yang sempat dicap memproduksi teroris hanya lantaran segelintir alumninya terlibat dalam aksi terorisme.
Beberapa rekan Huda saat belajar di Al Mukmin menjadi terpidana terorisme, salah satunya adalah Utomo Pamungkas alias Fadhlullah Hasan alias Mubarok, terpidana penjara seumur hidup akibat terlibat dalam aksi Bom Bali I.

Akhi Fadhlul, demikian panggilan hormat Huda kepada sosok yang ia anggap sebagai pembimbing atau mentornya itu, adalah rekan sekamarnya. Namun rel kehidupan lantas memisahkan kedua orang ini pada jalur masing-masing.
Terlepas dari itu, ia melihat adanya kekurangan dalam program deradikalisasi yakni dalam hal rehabilitasi bagi eks terpidana terorisme. Selain ia sendiri tidak setuju dengan penggunaan kata radikal yang secara terminologis “tak ada yang salah”. Huda juga terinspirasi dari sebuah gerakan di Irlandia Utara yang concern dalam rehabilitasi mantan pelaku konflik (post conflict).

Karena itu di Yayasan Prasasti Perdamaian, ia menyebut programnya sebagai Disengagement. Program pemberdayaan eks napi teroris yang bertujuan untuk merekonsiliasi mereka dengan lingkungan sosialnya agar bisa hidup normal sekaligus memutus rantai keterlibatan terhadap jaringan teroris.
Maka dibikinlah unit-unit usaha yang pengelolanya adalah eks napi teroris, di antaranya tambak udang di Kendal Jawa Tengah, usaha garmen di Solo, dan warung makan di Semarang. Warung itu berdiri dekat panti pijat dan gereja. Sebagian pelanggannya adalah gadis-gadis cantik berpakaian seksi yang merupakan karyawan panti pijat, pastor, dan jemaat gereja.

“Salah satu pengelola warung bernama Yusuf, mantan kombatan. Saya transformasikan kemampuan olah senjatanya untuk mengiris dan menggoreng bebek. Sebagai penjual, mau tak mau ia harus melayani pelanggannya dengan baik. Dan sebaliknya, ia mendapatkan respon yang baik bahkan sering diberi tip oleh mereka,” urai Huda mengenai programnya.

Lambat laun, ada perubahan pola pikir dalam diri Yusuf. “Tentu sebelumnya ia memandang gadis-gadis itu dengan kaca mata negatif, apalagi terhadap pemeluk Kristen. Namun anggapan itu mulai terkikis seiring intensitas interaksi dan kebaikan mereka pada diri Yusuf. Secara perlahan ia bisa menghargai perbedaan,” imbuh Huda.
Itu merupakan salah satu ikhtiar Huda bersama rekan-rekannya untuk menambal kekurangan dari program penanggulangan terorisme yang dilakukan aparat negara.

Bisa Anda terangkan lebih lanjut perihal program tersebut?
Ini murni gerakan sosial, soal agama biar urusan Kementerian Agama lah. Kita  ingin mencoba menilik terorisme dari perspektif lain, dari sisi korban misalnya. Maka saya bikin film Prison and Paradise (Berkisah seputar kehidupan para janda-janda korban aksi bom, pelaku bom, dan anak-anak mereka yang menjadi yatim baik secara sosial maupun psikologis; red).

Kita mengeluarkan isu agama dari program ini karena seperti saya terangkan di atas, faktor agama itu datang menyusul ketika orang memilih jalur kekerasan. Ada hal lain yang lebih mendasar yakni tidak adanya critical thinking (pikiran kritis) dan kurang pergaulan.
Orang meyakini kekerasan sebagai jalan yang benar lantaran sumber informasinya tunggal. Mereka tidak coba membandingkan dengan pendapat lain. Maka kita buat pelatihan jurnalistik di Pesantren Al Mukmin Ngruki.
Dengan jurnalistik, anak-anak tidak mungkin menjadi fanatik pada kelompok atau pandangan tertentu. Pasalnya dalam jurnalistik ada prinsip cover both side (meliput dua sisi), di mana jurnalis mesti menghadirkan pendapat dari dua sumber yang berbeda dalam tulisannya. Di situlah watak kritis akan muncul.
Selain itu mereka cenderung memilih berinteraksi dengan hanya satu kelompok saja. Maka kita buat unit-unit bisnis “untuk memaksa” mereka intensif berinteraksi dengan semua orang tanpa membedakan identitasnya.

Menurut Anda Apakah pemerintah sudah optimal menangani terorisme?
Secara ide, saya kira pemerintah sudah sangat paham. Bahwa perlu pendekatan yang soft terhadap terorisme. Bagaimana mengelola mereka di tahanan, saya yakin pemerintah mengerti. Tetapi secara praktis memang masih banyak kekurangan. Misalnya dari ratusan teroris yang ditangkap, tidak ada pemilahan tingkat keterlibatan masing-masing. Sehingga  teroris yang tadinya pinggiran malah jadi pemain utama.

Urwah alias Bagus Budi Pranoto, salah satu dalang Bom Marriot II tahun 2009 yang tertembak mati oleh polisi pada September 2009, itu ‘kan awalnya cheerleader saja dalam gerakan ini. Tetapi ketika dihukum penjara selama 4 tahun karena terlibat Bom Kedubes Australia, ia banyak belajar dari aktor-aktor utama. Saat keluar, jadilah pemain utama. Itu kan berarti pembinaan di lembaga pemasyarakatan gagal.

Fungsi Lapas itu ‘kan menyiapkan narapidana hidup di masyarakat, tapi kondisi penjara yang over crowded justru menimbulkan masalah. Saya kira problem mendasar adalah kurangnya anggaran dan sumber daya manusia.

Jika begitu, apakah perlu penjara khusus teroris?
Ya. Napi teroris itu harus dikluster. Menurut saya mereka bisa dikelompokkan menjadi tiga yaitu hard core believer yaitu para ideolog seperti Abu Bakar Baasyir dan Mukhlas yang jumlahnya sedikit; kemudian ada orang yang di tengah seperti Abdullah Sunata, bisa ikut ke kanan atau ke kiri, tergantung pemimpinnya; dan ada orang yang di pinggiran betul, yang nggak ngerti apa-apa dengan gerakan ini, asal ikut-ikutan saja. Mereka harus dipisahkan satu sama lain ketika di penjara.

Jika tidak ada kluster, penjara justru bisa menciptakan konfigurasi teror baru. Menurut kita penjara menjadi hukuman sosial, tetapi bagi mereka itu malah peningkatan kasta. Misalnya ada alumni Lapas Cipinang bernama ustadz Fulan, mereka kalau ceramah sekarang ada gelar LC di belakang namanya alias lulusan Cipinang.
Banyak sekarang akhwat-akhwat (muslimah) yang ingin nikah dengan mujahid. Salah satu indikasi mujahid ya pernah dipenjara itu. Kalau kamu susah cari istri, ya sudah masuk penjara dulu saja. Keluar dapat akhwat nanti.

Apa instansi yang paling tepat menangani problem  terorisme di indonesia?
Problem terorisme itu harus dipecah. Tetapi polisi adalah ujung tombak karena terorisme dianggap sebagai kriminalitas.
Saat ini yang kurang maksimal adalah bagaimana menyuarakan para korban. Mereka punya legitimasi yang kuat untuk mengatakan bahwa terror is enough. Jika kekuatan itu digabungkan dengan mantan pelaku untuk berkampanye melawan terorisme tentu akan menjadi powerfull.

Artinya antarinstansi pemerintah harus membangun integrasi?
Ya. Dan saya kira bukan hanya antarinstansi pemerintah tetapi juga dengan kelompok civil society. Sebab terrorism doesn’t work in office hour. Teroris beraksi tidak menunggu waktu. Sementara aparat negara ‘kan kerjanya menggunakan waktu. Jadi yang paling tepat melakukan ini adalah masyarakat sipil. Peran masyarakat penting untuk menjadi kelompok aktif.

Operasi kontraterorisme selama ini masih dilakukan polisi, apa perlu melibatkan TNI?
Jika aksi terorisme sudah berkaitan dengan batas-batas negara maka saya setuju jika melibatkan militer. Tetapi militer tidak bisa masuk ranah sipil. Menurut saya, polisi lah yang menjadi aktor penegakkan hukum. Militer tidak bisa menangkap, memeriksa, dan seterusnya. Militer bisa masuk apabila misalnya ada peredaran senjata api antarnegara, maka perlu kerjasama untuk mengintersepsi.

Saya kira Indonesia adalah contoh sukses penanganan terorisme. Kita harus apresiatif di sisi penangkapan. Ibaratnya, setelah susu tumpah, polisi itu bisa membersihkan dengan baik. Tetapi pencegahan agar susunya tidak tumpah dan yang sudah tumpah tidak membahayakan, itu yang belum.

Dengan UU Terorisme Nomor 15 Tahun 2003, ternyata problem terorisme tak pernah usai. Lantas perlukah kita meniru Singapura dan Malaysia yang memberlakukan internal security act (ISA) atau kembali ke UU Subversif?
Saya sepakat bahwa hukum harus diperkuat. Tetapi jika kita berpikir bahwa ada yang kurang dalam penanganan problem ini maka UU harusnya diganti, itu artinya logika kita sama saja dengan mereka (kelompok-kelompok jihadis). Demokrasi gagal, Pancasila gagal, maka harus diganti syariat Islam agar berbagai masalah bangsa rampung.
Memangnya bisa, semisal hari ini Indonesia disepakati menjadi negara Islam terus besok korupsi, pelacuran, dan sebagainya tidak ada? Ya tetap ada. Masak logika Negara sama dengan logikanya kelompok Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Harus lebih cerdas  lah.

Berarti apakah UU terorisme 2003 itu sudah cukup?
Ada beberapa yang perlu direvisi terutama dari sisi misalnya postdetention (pasca-penangkapan). Di situ masih belum diatur, misalnya jika terjadi salah tangkap, bagaimana rehabilitasinya? Ya kalau menangkapnya benar, kalau nggak dan tiba-tiba di-dor, itu bagaimana pertanggungjawabannya, mekanisme kompensasinya, proses rehabilitasinya?
Kemudian bagi eks narapidana, bagaimana mengembalikan dia ke masyarakat, itu harus diatur di UU. Persoalan-persoalan tersebut penting dipikirkan, sebab eks napi terorisme itu bisa menciptakan amunisi-amunisi baru. Sekali dia bisa merekrut orang 5 orang yang dedikatif saja, maka benih terorisme akan tumbuh subur.

Kemudian soal batas kriminalitas yang bisa dijerat UU terorisme. Saya heran, jika pelaku yang terlibat kasus kerusuhan seperti Poso dan Ambon dijerat dengan UU Terorisme. Itu kan too different chapter. Kedubes Amerika saja menyebut mereka sebagai militant group. Ada problem dendam karena kelompok tersebut melihat sendiri Pesantren Walisongo diserang oleh kelompok Kristen. Itu kan jelas beda dengan orang yang bermain mercon (bom: red) di Jakarta. Jika payung hukumnya disamakan, itu kasta si pelaku malah naik, dari kriminal biasa menjadi teroris.
Hal lain yang perlu diatur adalah provokasi kekerasan. Menurut saya jika ada ada kelompok atau individu yang bilang “kamu boleh menyerang” maka itu bisa ditangkap. Ada unsur insight violence di situ.

Media arrahmah.com misalnya, itu secara tegas dia membolehkan penyerangan. Bahwa kekerasan itu bagian dari jihad. Negara harus melakukan klarifikasi, walaupun mereka berdalih atas nama kebebasan berekspresi.
Tidak ada salahnya orang bilang bahwa sistem sekuler yang kita anut membuat korupsi tumbuh subur sehingga harus diganti dengan sistem Islam. Tetapi jika untuk menggantinya mereka memerbolehkan untuk menyerang ini dan itu, itu sudah nggak bisa dibenarkan.

Apakah ada organisasi atau jaringan teroris yang masih hidup?
Sebenarnya saya tidak setuju dengan sebutan Jamaah Islamiyah (JI) sebagai kelompok teroris. Ya silakan saja Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memasukkan JI dalam daftar organisasi teroris. Tapi begini, tidak ada ceritanya dalam internal JI ada rapat atau kesepakatan bersama menggunakan aksi teror. Itu yang harus diingat. Mereka adalah individu-individu yang secara emosional dekat dan sepakat secara ideologis dengan Mukhlas yang langsung menerima fatwa dari Osama bin Laden.

JI sendiri sekarang sudah tidak ada secara struktural. Tetapi kelompok-kelompok kecil yang menjustfikasi bahwa kekerasan itu boleh masih banyak. Peredaran fatwa kekerasan di internet banyak sekali. Dan itu diambil oleh mereka.

Ada banyak analisis bahwa isu terorisme dimunculkan untuk menyudutkan kelompok Islam?
Ya teori itu paling enak didengar. Karena mereka bisa bilang, ini bukan masalah kita, ada pihak ketiga. Terlepas dari itu, ada 2 hal yang harus kita kritisi.

Pertama, dihidupkannya Darul Islam itu memang bagian dari permainan intelijen rezim Orde Baru ketika Golkar berkali-kali kalah di Jabar. Kedua, Soeharto waktu itu memang takut sekali dengan kelompok Islam.
Sinyal bahwa intelijen bermain memang ada. Tetapi sampai eksesif, hingga memunculkan aksi-aksi terorisme, saya kok nggak percaya. Tapi kalau ada kucing dilatih sampai jadi macan liar, itu intelijen tahu. Kasus pelatihan militer di Aceh misalnya, mereka bisa latihan menembak di Markas Brimob Depok, kemudian ada sirkulasi senjata api yang begitu mudah. Apakah itu skema intelijen ataukah motif ekonomi karena ada oknum polisi yang nggak punya duit, itu mesti dikaji lebih jauh.
Artinya, menurut saya analisis-analisis seperti itu tidak bisa ditelan mentah-mentah, namun juga tidak bisa ditolak mentah-mentah.
***
Hingga kini Noor Huda Ismail, selain menulis, meneliti, dan bekerja sebagai konsultan masih setia bergelut dengan pembinaan eks napi teroris. Dalam hal penanganan problem terorisme, prinsip dia adalah jangan NATO (No Action Talk Only). “Alias omong dong,” sergahnya (Syafiq).

Biodata:
Nama Lengkap                        : Noor Huda Ismail
Tempat, Tanggal Lahir           : Yogyakarta, 29 November 1972
Pekerjaan                                : Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian
Pendidikan                              : S2 International Security St. Andrews Skotlandia

(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)

Sumber: Lazuardi Birru


Musik dan Meditasi Diajurkan Masuk Pesantren




Pakar sains dan pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Taufik Pasiak, menyarankan komunitas pesantren menerapkan pengajaran kurikulum yang memasukkan aktivitas bermusik, meditasi kontemplatif serta interaksi sosial kepada anak didiknya. Menurutnya tiga elemen aktivitas itu bisa mencegah tumbuhnya potensi otak yang gampang menerima gagasan-gagasan agama radikal.

 Pasiak menjelaskan tiga elemen tadi merupakan pembentuk sensitivitas otak pada rasa empati yang membantu menyeimbangkan struktur otak agar tak condong pada ide-ide agama yang radikal.

 ”Dari kacamata neurosains, pilihan seorang menerima gagasan radikal atau toleran dipengaruhi oleh struktur otak yang mudah terbentuk karena beberapa jenis persepsi pada tuhan,” katanya ketika menjadi salah satu pembicara Konferensi Internasional ‘Perspektif Global: Islam, Spiritualisme dan Radikalisme’ di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kamis, (22/11/2012).

 Pengarang buku ‘Tuhan dalam Otak Manusia’ tersebut menerangkan di banyak riset neurosains, penganut radikalisme agama otaknya didominasi oleh salah satu bagian sistem penalaran bernama limbic yang terlalu aktif sehingga menyebabkannya susah menerima pendapat berbeda dari luar.

 Menurut dia pembentukan struktur otak seperti itu dibantu oleh pengaruh kuat dari persepsi mengenai sifat-sifat tuhan yang otoriter. “Penguatan aktivitas limbic dipupuk oleh persepsi bahwa tuhan itu pemarah dan suka menghukum,” kata Pasiak.

 Sebaliknya, Pasiak melanjutkan, jika limbic melemah maka salah satu sistem pada otak bernama prefrontal akan mendominasi dan menyebabkan gaya pemikiran seseorang terlalu berlebihan mengesampingkan gagasan keagamaan. Kata dia, persepsi mengenai adanya tuhan yang jauh dari kehidupan manusia atau berada di luar jangkauan manusia mendukung penguatan sistem ini. “Karena tuhan berjarak maka ia bisa ditinggalkan kapan saja,” ujar dia.

 Pasiak menyimpulkan struktur otak yang normal perlu menyeimbangkan aktivitas kedua sistem berfikir tadi sehingga memunculkan pemikiran relijius namun toleran. Limbic danprefrontal akan terjaga keseimbangannya jika otak terlatih mengenal cara berfikir empati secara baik. “Kesimbangan seperti ini ternyata mudah muncul pada orang dengan persepsi mengenai tuhan yang penuh cinta kasih dan pemaaf,” kata dia.

 Pasiak mengatakan kemampuan otak mengenal empati bisa terlatih lewat ketiga aktivitas yang dia anjurkan masuk di kurikulum pesantren tadi, yakni bermain musik, meditasi untuk kontemplasi dan melakukan interaksi sosial yang intens dan terbuka. Dia mencontohkan tokoh sufi seperti Jalaludin Rumi menyadari hal ini sejak lama sehingga memanfaatkan tarian dan musik untuk melatih sensitifitas spiritualisme yang menjunjung ide cinta universal.

 Sementara kontemplasi, kata dia melatih orang mendengar dan merasakan hal-hal kecil dan asing dari kesehariannya sehingga membuat otak lebih mudah menerima perbedaan. “Interaksi sosial tentu wajb sebab melatih kecerdasan komunikasi, keterbukaan tentu menguatkan empati,” kata dia.

 Pembicara lain di konferensi itu, Mark Woodward memperkuat pendapat Pasiak dengan mencontohkan ada kecenderungan berbeda dari sejumlah komunitas muslim yang sama-sama menokohkan habib atau keturunan nabi dan sekaligus juga mempraktikkan ajaran khas sufistik. Indonesianis dan pakar konflik agama dari Arizona State University itu menyebut faktor utama pembedanya ialah musik. “Pengikut para habib di FPI (Front Pembela Islam) dengan jemaat shalawat Habib Syech punya ciri ajaran keagamaan sama tapi sikap berbeda,” ujar dia.

 Mark berpendapat FPI merupakan organisasi keagamaan yang ajarannya berakar pada tradisi Islam Tradisional Indonesia dan berorientasi sufistik pula. Begitu pula jemaat shalawat Habib Syech yang terkenal fanatik dan menjadi pengagum tokoh ulama keturana nabi ini. “Sama-sama radikal menurut saya, tapi berbeda karena yang satu radikalnya negatif sedangkan karakter radikal pada komunitas pengikut Habib Syech positif,” kata Mark yang sempat memutar salah satu klip penampilan musik sholawatan Habib Syech di depan peserta konferensi.

 Konferensi Internasional mengenai ‘Perspektif Global: Islam, Spiritualisme dan Radikalisme’ merupakan forum kajian mengenai fenomena spiritualisme dan radikalisme dalam Islam yang diselenggarakan Kantor Urusan Internasional UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Acara itu berlangsung sejak 22 hingga 24 November 2012 mendatang.

 Konferensi yang dihadiri sejumlah pakar keagamaan dari berbagai kampus dalam negeri dan luar negeri itu menggelar sebelas tema diskusi. Kesebalas tema itu ialah Neurosains dan Spiritualitas, Islam dan Spiritualisme, Radikalisme dan Perspektif Global, Agama dan Isu Gender, Agama dan Multikultralisme, Peran Kampus Islam dalam Pembentukan Islam khas Indonesia, Agama dan Minoritas, Agama dan Sains, Agama dan Isu Kontemporer, Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam dan Gerakan Filantropi Muslim.

Sumber: Lazuardi Birru